By: Saiful Bahri
Semangat
perjuangan kemerdekaan memang banyak tersohor di negeri ini. Pekikan-pekikan
kemerdekaan terus dikumandangkan dan menjadi sebuah pergolakan yang masih
terasa sampai sekarang. Dari kemerdekaan menuju sekarang, terasa sangat
panjang. Memang tak akan mampu menutupi kesenjangan perjalanan yang ada, akan
tetapi pemaknaan adalah sebuah kunci dari sebuah penghiasan apa yang pernah
dilihatnya. Hidup dizaman yang serba maju, merupakan tantanngan tersendiri.
Sikap ramah dan santun selalu ditunjukkan, meski terkadang ada yang bilang
bahwa kedesoan itu adalah sebuah penghalang. Tapi tidak yang terjadi dalam
dirinya, pengais semangat jiwa tradisionalisme yang masih hidup dalam
kenyataan. Memiliki warisan dalam kesendirian dan penghidupan, sehingga
keinginan hanya akan terpaku dengan keramah tamahan.
Dia adalah
seorang nenek yang usianya berkisar 75-80 tahun, dengan gaun indah dari adat
jawa yang selalu dia gunakan. Warnanya sudah tak seindah dulu lagi, mulai buram
termakan oleh bilasan-bilasan bekas cucian. Dirajutnya kembali sobekan-sobekan
kain, berbekas dan menambah keberagaman dari sebuah corak bajunya. Tenunan yang
juga sudah tak berbentuk sempurna lagi. Bukan suatu hal yang bisa dipandang
mahal, tetapi bisa dipandang mahal dalam hal adat yang masih sangat
dipegangnya. Memadukan kain kebaya dan corak yang lama, usang yang sangat
bermakna. Memadukan nuansa raga dan jiwa, sehingga perasaan memakainya adalah
perasaan yang melekat untuk menimbulkan kesaksian atas penggunaannya.
Terpadu dengan
adanya kain jarik, yang dililitkan di bahunya. Mengekang dengan kuat dalam
naungan bersamanya. Untuk menimbulkan keindahan dan keserasian. Bergabung
dengan nuansa tradisionalnya yang kental. Disamping itu, dapat menunjukkan
kesederhanaan. Sehingga penghayatan menjadi sebuah arti dari pemakaian. Jarik
bermotif batik menyimbulkan kesan menarik, untuk dapat menjadi daya tarik.
Meluruskan perasaan untuk menggelitik karena usangnya.
Penggabungan
nuansa ini merupakan keindahan yang sulit ditandingi, memulai perasaan yang
juga menggairahkan ketika dalam kenyataan pemakaian dan pemaknaan memiliki
keserasian. Pakain dari jenis kebaya kelas bawah ditambah dengan lilitan jarik
akan menampilkan daya tariknya. Indah terasa semakin mengeyangkan mata. Nasib
jarik sama dengan baju yang dia pakai tadi, usang dan mulai pudar dengan segala
macam bilasan-bilasan. Akan tetapi nasib
jarik tak terbenahi, dia sobek tak tersambung, dia kotor tak terhubung,
mengais tanah menyapu bumi, dengan keadaannya jarik mendapatkan siksa yang
lebih berat untuk menggambarkan keadaan nenek tersebut.
Sangat cantik
parasnya, dilihat dari tahun mudanya akan semakin membuat imajenasi bagi siapa
saja yang bertemu dengannya. Wajah menua, membuat kulit menjadi keriput. Dari
ujung kaki sampai ujung rambut, senantiasa terlihat fisiknya yang menua.
Terlihat gayanya yang sudah tak tertata, mulai mengendur seluk-beluk tubuhnya.
Mungkin karena usia atau karena beban yang menjadikannya seperti itu. Jangan
picik ketika melihat pemandangan itu, jangan menghardik dengan keangkuhan yang
membuat bangga, karena tidak ada yang akan merasakannya. Garis-garis di
kulitnya, menandakan keindahan tuhan yang telah menyajikan bentuk rasa
pengalaman bagi manusia. Gelombang yang ada dikulit bukan saja sebagai kejelekan
akan tetapi sebagai wujud kecantikan yang sesungguhnya.
Ditambah dengan
warna kulit yang kuning kecoklatan, berpadu dengan muka sayu, dan memutih rambutnya.
Menambah anggun dalam kehidupannya, dan seiring berpindahan zaman dia akan
semakin cantik dalam kategorinya. Pada malam itu dia tetap mengais rezeki.
Seorang nenek yang bisa tersenyum untuk semangat mudanya, dan tidak mau
membebani manusia lainnya. Dalam membuat lidi ada istilah lokal yang dipakai
adalah “nyisik blarak”. Rutinitas
beliau adalah sebagai pembuat lidi. Beliau pergi ke kebun pada pagi hari untuk
mencari daun kelapa yang jatuh. Sambil berjalan dengan kekuatan rentanya, dia
berusaha mengumpulkan daun kelapa dengan cara menyesek.
Kesana kemari
mencoba mengais-ngais rezeki, dengan secerca pengharapan darinya. Disetiap
jalannya dia melirik kesana kemari untuk mendapatkan apa tujuannya. Banyak hal
yang menjadi kekuatan dirinya untuk terus berjuang. Ketika banyak sudah bahan
pembuat lidi yang dia dapat, seketika itu dia harus menyisir kembali jalannya
tadi. Hal ini dilakukan karena, dalam mencari daun-daun kelapa tidak dibawanya
secara langsung. Melainkan akan di tinggalkannya pada tempat dia menemukan daun
kelapa tersebut. Tentu saja sudah diseseknya
untuk mempermudah pembawaaannya.
Dengan tubuh
rentanya dan jalan yang sudah mulai membungkuk, dia mencoba untuk mengangkat
daun-daun kelapa yang didapatkannya. Padahal ukuran dari barang itu lebih berat
dan besar daripada ukuran tubuhnya. Yang sudah mengecil termakan usia. Dengan
jalannya, dia merayap pagar untuk mencari sandaran ketika akan berdiri. Diraihnya dengan kesungguhan hati untuk
berjuang sampai titik dimana akan menemukan lidi. Setelah dia berdiri dengan
bahan pembuat lidi di punggungnya. Dia berjalan dengan angan yang dalam. Tidak
tegap seperti masa mudanya, tetapi membungkuk karena usianya.
Dia berjalan
pulang melewati medan yang cukup jauh dan terjal. Karena biasanya dia akan
mencari daun kelapa sampai ke seberang sungai. Jalan terjal pun harus dia
lalaui untuk mendapatkan daun kelapa dan membawanya pulang sampai kerumahnya.
Rute yang cukup jauh bukan, untuk ukuran manusia seusianya. Dipijaknya bumi
yang mengelamun, seperti kesadarannya telah hilang. Sebenarnya tak kuasa bumi
ini untuk memunculkan gaya grafitasinya, karena dapat membuat berat langkah
nenek tersebut. Belum juga batu-batu yang terjal dan licin, adalah sebuah
penghalang baginya, ketika dia lewat sungai.
Air sungai yang
melimpah, karena pasang besar juga terkadang menghambat jalannya. Tak
terkendali dunia ini, tetapi tetap miris ketika bumi telah menanti tapi
semangat masih dihati. Batu-batu mulai menyisihkan badannya, untuk dia berjalan
dengan lancar. Air sungai mencoba untuk menghambat waktu pasangnya. Agar dia
dapat menyebrang dengan selamat dan lancar sampai ketitik sebrang. Tak kuasa atau menjadi kuasa adalah sebuah
kekuatan yang muncul dalam hatinya. Semangat untuk tetap bertahan dan
melaanjutkan tradisi tetap dia pertahankan. Tidak ada yang dapat mematahkannya.
Sehingga batu, air dan tanah hanya bisa kagum kepadanya.
Ketika sudah
mendapatkan setengah perjalanan pulang, dia beristirahat dan menaruh barang
bawaannya dibelakang. Membuka bekal yang sudah dibawanya. Bukan putihnya nasi
dengan dicampur lauk pauk atau bukan segumpalan ubi-ubian yang biasa dibawa
oleh orang pedesaaan. Akan tetapi dia biasa membawa daun sirih beserta
teman-temannya, yang terdiri dari gambir dan enjet. Dia biasa melakukan tradisi nyirih ketika melakukan
pekerjaan. Diambilnya satu lembar daun sirih yang diformulakan dengan gambir
dan enjet,. Setelah itu dia gulung,
sehingga daun sirih itu dapat menutupi gambir dan enjet. Setelah itu dia menguyah dan memerahlah mulutnya. Dengan
rasa yang senang dia terus mengunyah sampai lebut. Ketika sudah sampai pada
tahap tersebut, dia menggulung tembakau untuk digosok-gosokkan di giginya. Hal
ini dilakukan agar, air daun sirih tadi dapat merata keseluurh bagian giginya.
Dia menikmati kenikmatan pada siang itu. Sembari tangannya yang terus bergerak
kesana-kemari untuk meratakan sirih tersebut, dia terlihat melamun. Mungkin
terbawa suasana yang ada. Ketika, diteriknya matahari pada siang itu, ditambah
dengan sumilir angin. Dia hanya terhayut dengan kegiatan menyirihnya. Dibawah
pohon rindang, cukup rindang untuk dapat menaunginya dalam keadaan yang seperti
ini.
Beraut wajah
datar, membuat pengekspresiannya tak jelas. Apakah dia capek, apakah dia
bahagia, apakah dia sedih atau yang lainnya. Tidak ada yang dapat mengartikan
hal tersebut. Kegiatan menyirih yang dilakukannya bukan hanya sebagai
penghibur, akan tetapi juga sebagai penghidupan jiwa tradisionalis. Dengan
memegang budaya dan kebiasaan dari nenek moyang, beliau tetap ingin
melestarikan hal tersebut. Disamping itu, beliau juga menginginkan suatu hal
yang sehat dan alami untuk dinikmati. Tatkala, lelah sudah beranjak pergi
meninggalkannya. Dia berdiri kembali dengan tubuhnya yang sudah menua, sembari
membersihkan pakaiannya yang tadi kotor karena terkena tanah tempat dia duduk.
Setelah terlihat bersih dan dia mulai merapikan pakaiannya. Meski tidak dapat
menjadikan pakaian itu baik dan bagus kembali. Dengan merapikannya, akan
terlihat lebih layak lagi dipakainya.
Tubuh tua itu,
mencoba mengangkat barang bawaannya. Ditaruh punggungnya menempel pada barang
yang dibawanya. Diikatkannya jarik tua yang dia bawa, untuk menggendong barang
tersebut. Setelah terikat dan terlihat kuat pada gendongan tersebut, dia mulai
mengangkatnya. Perlahan tapi menunjukkan kepastian, dia dapat berdiri dengan
beban yang berat di punggungnya. Berjalanlah kembali sang nenek dengan semangat
tuanya. Semangat yang menjadi beban untuk dia menjalani setiap nafas tuanya.
Kaki yang beralaskan tanah, dengan langkah yang tak terlalu tinggi. Menimbulkan
bekas seretan-seretan tapak kaki di tanah. Seperti dia sedang menyapu tanah
yang kotor dengan menggunakan kakinya.
Dia berjalan
cukup jauh untuk sampai ketempat tujuan. Dengan terus melangkahkan kakinya, dia
menuju asa untuk mengais apa yang menjadi mata pencahariannya. Sesampainya
dirumah, dia langsung menaruh barang bawaannya. Dengan rapinya, dia menata sebaik
mungkin dan mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk memisahkan lidi dari
daunnya. Setelah semua terlihat rapi, untuk menunjang energinya, dia mengambil
makanan yang telah dibuatnya. Bukan makanan yang mewah untuk menjadi teman
santapnya. Bukan makanan yang enak yang akan membayar usahanya. Akan tetapi,
hanya makanan biasa yang berbahan daun-daunan. Dia memasaknya dengan resep dan
ketekunan. Tanpa memerlukan bahan-bahan yang instan, dia sudah menikmatinya.
Hanya sebatas garam dan bahan alami untuk menemani sayur yang ada di hidangan
nasinya.
Dia melahap
makanan tersebut dengan sangat hikmat. Berpiringkan lemper, menjadikan letak tradisional semakin melekat kepadanya.
Makanan yang sederhana tetapi mendapatkan sejuta makna. Dia tidak pernah mau
untuk memakan-makanan yang berbau produk pabrik. Karena menurutnya, rasanya
sudah tidak enak lagi. Apalagi, dia juga jarang makan daging. Karena menurutnya
hal semacam itu tidak dapat mengalahkan keenakan dari masakan alaminya. Mungkin
itu juga yang dapat membuatnya tetap bugar diusianya yang sudah hamper satu
abad.
Dia merupakan
nenek yang sangat bersemangat untuk kategori usianya. Dengan pembuktian bahwa
kemajuan zaman tidak akan dapat membunuh semangatnya. Tidak akan mengubah
ideologinya, atau juga tidak dapat menjadikan perubahan terhadap kebiasaanya.
Disamping itu, dia juga sering membuat kopi untuk dirinya. Untuk menemani
dirinya dalam bekerja. Untuk mengjibur kelelahannya. Setelah perut yang kosong
terasa terisi, beliau kembali menuju bahan lidi yang sudah lama menunggunya.
Dibawanya satu buah pisau usang, yang berbalut dengan kain dan secangkir kopi
yang sudah diseduhnya. Dia mulai melangkah dan menginjakkan kakinya untuk
menuju harapan lidinya. Dia duduk ditempat duduk tradisional, yang biasa
disebut oleh orang jawa dengan sebutan dingklek.
Dengan menyanding kopi, dia mulai mengambil satu persatu lidi yang masih
terbungkus daun kelapa. Satu demi satu dia mulai membuat lidi tersebut.
Menyembulkan harapan yang ada. Terkadang dia mengistirahatkan jari-jarinya
dengan meminum kopi yang sudah mulai dingin. Langit mulai menguning, menandakan
petang telah datang. Jari-jari yang sudah lihai Nampak tetap asyik untuk
menjamah lidi-lidi.
Sampai dia
istirahat untuk yang kesekian kalinya, membersihkan dirinya dengan bilasan-bilasan
air mandinya. Mengamalkan ibadah sesuai dengan yang dia ketahui, melaksanakan
apa yang telah menjadi kebiasaannya. Hanya penghibur gelapnya malam untuk
menemaninya menyanding secangkir kopi. Setelah peribadatannya selesai, dia
meneruskan kembali pekerjaannya. Tidak mengenal malam yang sudah gelap, tidak
memperdulikan angin malam yang dingin, dan tidak mendengarkan ocehan-ocehan
hewan malam yang senantiasa mencoba menghardiknya.
Dimulainya
kerjanya pada malam hari, mulai ditelanjangi lidi-lidi yang masih berdaun. Satu-persatu tanpa ada keluh kesah yang
muncul dari mulutnya. Tapi, tidak aka nada yang tahu hatinya, kecuali Tuhan yang menakdirkannya.
Semangatnya dalam berkerja tidak akan pernah hilang dimamkan zaman, tidak akan
pernah goyah dengan apapun dan tidak akan mati memakan usianya. Mengais rezeki
dengan kegiatannya sendiri, menjadikan dia semakin layak untuk menjadi contoh
kaum muda. Ketika dikeheningan malam banyak suara teknologi yang berbunyi, dia
hanya suara gesekan pisau dan lidi. Keadaan tersbut sudah cukup untuk
menghiburnya, sudah cukup menemaninya.
Ketika, udara
sudah semakin dingi dan angin malam mulai menusuk tulang. Dia tidak bergeming
untuk menghiraukannya. Semakin malam semakin bersemangat dalam berkerja.
Sebelum merasakan kantuk, dia tidak akan memaksakan untuk tidur. Walaupun pukul
telah menuntutnya tidur, akan tetapi dia tidak akan pernah menghiraukan waktu.
Jam yang terus berputar tidak akan menjadi daya tarik dirinya, hanya gesekan
dan bunyi-bunyian dari pekerjaannya yang menjadi keasyikan bagi dirinya untuk
tetap bersemangat. Ketika malam sudah menutupi pertengahan, dia menceletuk
mengeluarkan suara. Sepertinya sedang berdialog dengan seseorang. Tidak ada
yang pernah tahu siapa yang diajak berbicara, akan tetapi satu yang selalu
dibahas adalah mengenai kehidupannya dan keluarganya. Percakapan yang sangat
membantu untuk dia semakin bersemangat dalam berkerja semakin menikmati
keadaanya dan semakin menjadikan penguatan keinginannya,
Satu hal yang
pasti, dalam dialog tersebut, dia selalu menceritakan dirinya dan usia yang
renta. Hidup dengan keluarga yang terus mendukungnya, tetapi dia tidak mau
untuk membebaninya. Ditinggalkan oleh pasangan hidupnya, dan teman-teman
seusianya. Disamping itu, dalam dialog tersebut sering dia membicarakan hal-hal
yang berkaitan dengan orang-orang yang sudah meninggal. Dialog itu berlangsung
sangat lama, menemaninya dalam pekerjaannya. Dalam setiap malam dia selalu
mengisyaratkan kesedihan dengan membicarakan, dirinya dan keluarganya. Dia
membuktikan bahwa kekuatan itu berasal dari dalam jiwa untuk membantunya dalam
bekerja. Tak terasa waktu menunjukkan pagi, beriring dengan suara kokok ayam, disahut dengan suara adzan yang
menggema. Tersadar sudah dia hanya sendiri, dan tidak ada yang menemani. Ntah
siapa yang tadi malam menemaninya, tidak akan ada yang tahu. Cukup tahu bahwa
sebenarnya dia bekerja sendiri dengan semamngatnya yang masih berapi-api.
Sehingga kantuk yang membuatnya terlelap sampai dia terbangun untuk melanjutkan
aktivitasnya.
BalasHapusTulisan keren kak,Kami dealer motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek. Lihat lihat motor bisa klik disini