Kamis, 02 November 2017

Saiful Bahri

Semangat Lidi
By: Saiful Bahri
Semangat perjuangan kemerdekaan memang banyak tersohor di negeri ini. Pekikan-pekikan kemerdekaan terus dikumandangkan dan menjadi sebuah pergolakan yang masih terasa sampai sekarang. Dari kemerdekaan menuju sekarang, terasa sangat panjang. Memang tak akan mampu menutupi kesenjangan perjalanan yang ada, akan tetapi pemaknaan adalah sebuah kunci dari sebuah penghiasan apa yang pernah dilihatnya. Hidup dizaman yang serba maju, merupakan tantanngan tersendiri. Sikap ramah dan santun selalu ditunjukkan, meski terkadang ada yang bilang bahwa kedesoan itu adalah sebuah penghalang. Tapi tidak yang terjadi dalam dirinya, pengais semangat jiwa tradisionalisme yang masih hidup dalam kenyataan. Memiliki warisan dalam kesendirian dan penghidupan, sehingga keinginan hanya akan terpaku dengan keramah tamahan.
Dia adalah seorang nenek yang usianya berkisar 75-80 tahun, dengan gaun indah dari adat jawa yang selalu dia gunakan. Warnanya sudah tak seindah dulu lagi, mulai buram termakan oleh bilasan-bilasan bekas cucian. Dirajutnya kembali sobekan-sobekan kain, berbekas dan menambah keberagaman dari sebuah corak bajunya. Tenunan yang juga sudah tak berbentuk sempurna lagi. Bukan suatu hal yang bisa dipandang mahal, tetapi bisa dipandang mahal dalam hal adat yang masih sangat dipegangnya. Memadukan kain kebaya dan corak yang lama, usang yang sangat bermakna. Memadukan nuansa raga dan jiwa, sehingga perasaan memakainya adalah perasaan yang melekat untuk menimbulkan kesaksian atas penggunaannya.
Terpadu dengan adanya kain jarik, yang dililitkan di bahunya. Mengekang dengan kuat dalam naungan bersamanya. Untuk menimbulkan keindahan dan keserasian. Bergabung dengan nuansa tradisionalnya yang kental. Disamping itu, dapat menunjukkan kesederhanaan. Sehingga penghayatan menjadi sebuah arti dari pemakaian. Jarik bermotif batik menyimbulkan kesan menarik, untuk dapat menjadi daya tarik. Meluruskan perasaan untuk menggelitik karena usangnya.
Penggabungan nuansa ini merupakan keindahan yang sulit ditandingi, memulai perasaan yang juga menggairahkan ketika dalam kenyataan pemakaian dan pemaknaan memiliki keserasian. Pakain dari jenis kebaya kelas bawah ditambah dengan lilitan jarik akan menampilkan daya tariknya. Indah terasa semakin mengeyangkan mata. Nasib jarik sama dengan baju yang dia pakai tadi, usang dan mulai pudar dengan segala macam bilasan-bilasan. Akan tetapi nasib  jarik tak terbenahi, dia sobek tak tersambung, dia kotor tak terhubung, mengais tanah menyapu bumi, dengan keadaannya jarik mendapatkan siksa yang lebih berat untuk menggambarkan keadaan nenek tersebut.
Sangat cantik parasnya, dilihat dari tahun mudanya akan semakin membuat imajenasi bagi siapa saja yang bertemu dengannya. Wajah menua, membuat kulit menjadi keriput. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, senantiasa terlihat fisiknya yang menua. Terlihat gayanya yang sudah tak tertata, mulai mengendur seluk-beluk tubuhnya. Mungkin karena usia atau karena beban yang menjadikannya seperti itu. Jangan picik ketika melihat pemandangan itu, jangan menghardik dengan keangkuhan yang membuat bangga, karena tidak ada yang akan merasakannya. Garis-garis di kulitnya, menandakan keindahan tuhan yang telah menyajikan bentuk rasa pengalaman bagi manusia. Gelombang yang ada dikulit bukan saja sebagai kejelekan akan tetapi sebagai wujud kecantikan yang sesungguhnya.
Ditambah dengan warna kulit yang kuning kecoklatan, berpadu dengan muka sayu, dan memutih rambutnya. Menambah anggun dalam kehidupannya, dan seiring berpindahan zaman dia akan semakin cantik dalam kategorinya. Pada malam itu dia tetap mengais rezeki. Seorang nenek yang bisa tersenyum untuk semangat mudanya, dan tidak mau membebani manusia lainnya. Dalam membuat lidi ada istilah lokal yang dipakai adalah “nyisik blarak”. Rutinitas beliau adalah sebagai pembuat lidi. Beliau pergi ke kebun pada pagi hari untuk mencari daun kelapa yang jatuh. Sambil berjalan dengan kekuatan rentanya, dia berusaha mengumpulkan daun kelapa dengan cara menyesek.
Kesana kemari mencoba mengais-ngais rezeki, dengan secerca pengharapan darinya. Disetiap jalannya dia melirik kesana kemari untuk mendapatkan apa tujuannya. Banyak hal yang menjadi kekuatan dirinya untuk terus berjuang. Ketika banyak sudah bahan pembuat lidi yang dia dapat, seketika itu dia harus menyisir kembali jalannya tadi. Hal ini dilakukan karena, dalam mencari daun-daun kelapa tidak dibawanya secara langsung. Melainkan akan di tinggalkannya pada tempat dia menemukan daun kelapa tersebut. Tentu saja sudah diseseknya untuk mempermudah pembawaaannya.
Dengan tubuh rentanya dan jalan yang sudah mulai membungkuk, dia mencoba untuk mengangkat daun-daun kelapa yang didapatkannya. Padahal ukuran dari barang itu lebih berat dan besar daripada ukuran tubuhnya. Yang sudah mengecil termakan usia. Dengan jalannya, dia merayap pagar untuk mencari sandaran ketika akan berdiri.  Diraihnya dengan kesungguhan hati untuk berjuang sampai titik dimana akan menemukan lidi. Setelah dia berdiri dengan bahan pembuat lidi di punggungnya. Dia berjalan dengan angan yang dalam. Tidak tegap seperti masa mudanya, tetapi membungkuk karena usianya.
Dia berjalan pulang melewati medan yang cukup jauh dan terjal. Karena biasanya dia akan mencari daun kelapa sampai ke seberang sungai. Jalan terjal pun harus dia lalaui untuk mendapatkan daun kelapa dan membawanya pulang sampai kerumahnya. Rute yang cukup jauh bukan, untuk ukuran manusia seusianya. Dipijaknya bumi yang mengelamun, seperti kesadarannya telah hilang. Sebenarnya tak kuasa bumi ini untuk memunculkan gaya grafitasinya, karena dapat membuat berat langkah nenek tersebut. Belum juga batu-batu yang terjal dan licin, adalah sebuah penghalang baginya, ketika dia lewat sungai.
Air sungai yang melimpah, karena pasang besar juga terkadang menghambat jalannya. Tak terkendali dunia ini, tetapi tetap miris ketika bumi telah menanti tapi semangat masih dihati. Batu-batu mulai menyisihkan badannya, untuk dia berjalan dengan lancar. Air sungai mencoba untuk menghambat waktu pasangnya. Agar dia dapat menyebrang dengan selamat dan lancar sampai ketitik sebrang.  Tak kuasa atau menjadi kuasa adalah sebuah kekuatan yang muncul dalam hatinya. Semangat untuk tetap bertahan dan melaanjutkan tradisi tetap dia pertahankan. Tidak ada yang dapat mematahkannya. Sehingga batu, air dan tanah hanya bisa kagum kepadanya.
Ketika sudah mendapatkan setengah perjalanan pulang, dia beristirahat dan menaruh barang bawaannya dibelakang. Membuka bekal yang sudah dibawanya. Bukan putihnya nasi dengan dicampur lauk pauk atau bukan segumpalan ubi-ubian yang biasa dibawa oleh orang pedesaaan. Akan tetapi dia biasa membawa daun sirih beserta teman-temannya, yang terdiri dari gambir dan enjet. Dia biasa melakukan tradisi nyirih ketika melakukan pekerjaan. Diambilnya satu lembar daun sirih yang diformulakan dengan gambir dan enjet,. Setelah itu dia gulung, sehingga daun sirih itu dapat menutupi gambir dan enjet. Setelah itu dia menguyah dan memerahlah mulutnya. Dengan rasa yang senang dia terus mengunyah sampai lebut. Ketika sudah sampai pada tahap tersebut, dia menggulung tembakau untuk digosok-gosokkan di giginya. Hal ini dilakukan agar, air daun sirih tadi dapat merata keseluurh bagian giginya. Dia menikmati kenikmatan pada siang itu. Sembari tangannya yang terus bergerak kesana-kemari untuk meratakan sirih tersebut, dia terlihat melamun. Mungkin terbawa suasana yang ada. Ketika, diteriknya matahari pada siang itu, ditambah dengan sumilir angin. Dia hanya terhayut dengan kegiatan menyirihnya. Dibawah pohon rindang, cukup rindang untuk dapat menaunginya dalam keadaan yang seperti ini.
Beraut wajah datar, membuat pengekspresiannya tak jelas. Apakah dia capek, apakah dia bahagia, apakah dia sedih atau yang lainnya. Tidak ada yang dapat mengartikan hal tersebut. Kegiatan menyirih yang dilakukannya bukan hanya sebagai penghibur, akan tetapi juga sebagai penghidupan jiwa tradisionalis. Dengan memegang budaya dan kebiasaan dari nenek moyang, beliau tetap ingin melestarikan hal tersebut. Disamping itu, beliau juga menginginkan suatu hal yang sehat dan alami untuk dinikmati. Tatkala, lelah sudah beranjak pergi meninggalkannya. Dia berdiri kembali dengan tubuhnya yang sudah menua, sembari membersihkan pakaiannya yang tadi kotor karena terkena tanah tempat dia duduk. Setelah terlihat bersih dan dia mulai merapikan pakaiannya. Meski tidak dapat menjadikan pakaian itu baik dan bagus kembali. Dengan merapikannya, akan terlihat lebih layak lagi dipakainya.
Tubuh tua itu, mencoba mengangkat barang bawaannya. Ditaruh punggungnya menempel pada barang yang dibawanya. Diikatkannya jarik tua yang dia bawa, untuk menggendong barang tersebut. Setelah terikat dan terlihat kuat pada gendongan tersebut, dia mulai mengangkatnya. Perlahan tapi menunjukkan kepastian, dia dapat berdiri dengan beban yang berat di punggungnya. Berjalanlah kembali sang nenek dengan semangat tuanya. Semangat yang menjadi beban untuk dia menjalani setiap nafas tuanya. Kaki yang beralaskan tanah, dengan langkah yang tak terlalu tinggi. Menimbulkan bekas seretan-seretan tapak kaki di tanah. Seperti dia sedang menyapu tanah yang kotor dengan menggunakan kakinya.
Dia berjalan cukup jauh untuk sampai ketempat tujuan. Dengan terus melangkahkan kakinya, dia menuju asa untuk mengais apa yang menjadi mata pencahariannya. Sesampainya dirumah, dia langsung menaruh barang bawaannya. Dengan rapinya, dia menata sebaik mungkin dan mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk memisahkan lidi dari daunnya. Setelah semua terlihat rapi, untuk menunjang energinya, dia mengambil makanan yang telah dibuatnya. Bukan makanan yang mewah untuk menjadi teman santapnya. Bukan makanan yang enak yang akan membayar usahanya. Akan tetapi, hanya makanan biasa yang berbahan daun-daunan. Dia memasaknya dengan resep dan ketekunan. Tanpa memerlukan bahan-bahan yang instan, dia sudah menikmatinya. Hanya sebatas garam dan bahan alami untuk menemani sayur yang ada di hidangan nasinya.
Dia melahap makanan tersebut dengan sangat hikmat. Berpiringkan lemper, menjadikan letak tradisional semakin melekat kepadanya. Makanan yang sederhana tetapi mendapatkan sejuta makna. Dia tidak pernah mau untuk memakan-makanan yang berbau produk pabrik. Karena menurutnya, rasanya sudah tidak enak lagi. Apalagi, dia juga jarang makan daging. Karena menurutnya hal semacam itu tidak dapat mengalahkan keenakan dari masakan alaminya. Mungkin itu juga yang dapat membuatnya tetap bugar diusianya yang sudah hamper satu abad.
Dia merupakan nenek yang sangat bersemangat untuk kategori usianya. Dengan pembuktian bahwa kemajuan zaman tidak akan dapat membunuh semangatnya. Tidak akan mengubah ideologinya, atau juga tidak dapat menjadikan perubahan terhadap kebiasaanya. Disamping itu, dia juga sering membuat kopi untuk dirinya. Untuk menemani dirinya dalam bekerja. Untuk mengjibur kelelahannya. Setelah perut yang kosong terasa terisi, beliau kembali menuju bahan lidi yang sudah lama menunggunya. Dibawanya satu buah pisau usang, yang berbalut dengan kain dan secangkir kopi yang sudah diseduhnya. Dia mulai melangkah dan menginjakkan kakinya untuk menuju harapan lidinya. Dia duduk ditempat duduk tradisional, yang biasa disebut oleh orang jawa dengan sebutan dingklek. Dengan menyanding kopi, dia mulai mengambil satu persatu lidi yang masih terbungkus daun kelapa. Satu demi satu dia mulai membuat lidi tersebut. Menyembulkan harapan yang ada. Terkadang dia mengistirahatkan jari-jarinya dengan meminum kopi yang sudah mulai dingin. Langit mulai menguning, menandakan petang telah datang. Jari-jari yang sudah lihai Nampak tetap asyik untuk menjamah lidi-lidi.
Sampai dia istirahat untuk yang kesekian kalinya, membersihkan dirinya dengan bilasan-bilasan air mandinya. Mengamalkan ibadah sesuai dengan yang dia ketahui, melaksanakan apa yang telah menjadi kebiasaannya. Hanya penghibur gelapnya malam untuk menemaninya menyanding secangkir kopi. Setelah peribadatannya selesai, dia meneruskan kembali pekerjaannya. Tidak mengenal malam yang sudah gelap, tidak memperdulikan angin malam yang dingin, dan tidak mendengarkan ocehan-ocehan hewan malam yang senantiasa mencoba menghardiknya.
Dimulainya kerjanya pada malam hari, mulai ditelanjangi lidi-lidi yang masih berdaun.  Satu-persatu tanpa ada keluh kesah yang muncul dari mulutnya. Tapi, tidak aka nada yang tahu  hatinya, kecuali Tuhan yang menakdirkannya. Semangatnya dalam berkerja tidak akan pernah hilang dimamkan zaman, tidak akan pernah goyah dengan apapun dan tidak akan mati memakan usianya. Mengais rezeki dengan kegiatannya sendiri, menjadikan dia semakin layak untuk menjadi contoh kaum muda. Ketika dikeheningan malam banyak suara teknologi yang berbunyi, dia hanya suara gesekan pisau dan lidi. Keadaan tersbut sudah cukup untuk menghiburnya, sudah cukup menemaninya.
Ketika, udara sudah semakin dingi dan angin malam mulai menusuk tulang. Dia tidak bergeming untuk menghiraukannya. Semakin malam semakin bersemangat dalam berkerja. Sebelum merasakan kantuk, dia tidak akan memaksakan untuk tidur. Walaupun pukul telah menuntutnya tidur, akan tetapi dia tidak akan pernah menghiraukan waktu. Jam yang terus berputar tidak akan menjadi daya tarik dirinya, hanya gesekan dan bunyi-bunyian dari pekerjaannya yang menjadi keasyikan bagi dirinya untuk tetap bersemangat. Ketika malam sudah menutupi pertengahan, dia menceletuk mengeluarkan suara. Sepertinya sedang berdialog dengan seseorang. Tidak ada yang pernah tahu siapa yang diajak berbicara, akan tetapi satu yang selalu dibahas adalah mengenai kehidupannya dan keluarganya. Percakapan yang sangat membantu untuk dia semakin bersemangat dalam berkerja semakin menikmati keadaanya dan semakin menjadikan penguatan keinginannya,

Satu hal yang pasti, dalam dialog tersebut, dia selalu menceritakan dirinya dan usia yang renta. Hidup dengan keluarga yang terus mendukungnya, tetapi dia tidak mau untuk membebaninya. Ditinggalkan oleh pasangan hidupnya, dan teman-teman seusianya. Disamping itu, dalam dialog tersebut sering dia membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang yang sudah meninggal. Dialog itu berlangsung sangat lama, menemaninya dalam pekerjaannya. Dalam setiap malam dia selalu mengisyaratkan kesedihan dengan membicarakan, dirinya dan keluarganya. Dia membuktikan bahwa kekuatan itu berasal dari dalam jiwa untuk membantunya dalam bekerja. Tak terasa waktu menunjukkan pagi, beriring dengan suara kokok  ayam, disahut dengan suara adzan yang menggema. Tersadar sudah dia hanya sendiri, dan tidak ada yang menemani. Ntah siapa yang tadi malam menemaninya, tidak akan ada yang tahu. Cukup tahu bahwa sebenarnya dia bekerja sendiri dengan semamngatnya yang masih berapi-api. Sehingga kantuk yang membuatnya terlelap sampai dia terbangun untuk melanjutkan aktivitasnya.

1 komentar: