Senin, 30 Oktober 2017

Tokoh Barjasa Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo

Jimatnya Kota Angin
Mastuti Rahayu

Lebih baik terlambat dari pada tidak pernah mau memcoba memahami tokoh yang sangat berjasa di daerah sendiri, bagaikan seorang yang tinggal disuatu rumah tetapi tidak menggenali seseorang yang ada tempat tinggalnya mungkin itu ungkapan yang dapat mencerminkan bagi sesorang yang sering menghabiskan waktu untuk kegiatan nongkrong ataupun berjalan-jalan di daerah sekitanya tetapi tidak peka terhadap disekitanrnya yang merupakan suatu yang ugren utuk diketahui seperti sosok tokoh yang sangat berjasa dan dan merupakan tokoh penting dalam daerah tersebut.
Suasana panas serta penat yang ada dalam tubuh ini mengahantarkan saya untuk bersinggah disuatu tempat untuk beristirahat sejenak serta menunggu kumadang azan sholat azar disebuah masjid yang sangat unik, saya pun duduk di sebuah pelataran masjid yang sangat sejuk dengan alas lantai berupa batu hitam yang membuat tempat tersebut terasa sangat sejuk padahal udara diluar masjid tersebut sangat panas. Decak kagum saya pun terus berlanjut dengan mulai melihat-lihat betuk bangunan masjid tersebut, serta mencoba mencari lebih lanjut teteng masjid tersebut.
Masjid tersebut merupakan masjid tertua yang didiriakan oleh Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo atau yang lebih terkenalnya dengan sebutan Kanjeng Jimat, yang terletak di Desa Ngrawan, Kecamatan Berbek, ± 8 km arah Sealatn Kota Nganjuk Jl. Mayjen Supeno No.76, Ngrawan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Beliau merupakan seorang tokoh yang sangat penting dalam sejarah Kabupten Nganjuk yang mana beliau adalah Bupati pertama dari Kabupaten Nganjuk dan merupakan Adipati ke empat dari Kadipaten Berebk, serta tokoh penyebar Agama Islam pada waktu itu.
Suara Azan pun berkumadang dengan suara yang sayup sedikit serank dan tersengal yang menandakan memasukinya waktu sholat azar yang dikumandangkan seorang yang sudah berusia tua. Saya pun beranjak untuk berwudu, setelah berwudu saya pun masuk kedalam masjid untuk sholat berjama’ah, langkah kaki saya pun diiringi dengan tatapan mata yang berdecak kagum dengan melihat setiap bagian yang ada dalam masjid tersebut. Saya pun sholat berjama’ah dengan warga sekitar dan orang yang singgah untuk menunaikan sholat, suara imam pun terdengar dengan lantunan lafadz “Allahhuakabar” sebagai tanda dimulainya sholat azar. Setelah melaksanakan sholat azar saya mencoba mencari informasi lebih dalam lagi dengan cara bertanya kepada salah satu pengurus masjid. Bertemulah saya dengan satu pengurus masjid yang bernama bapak Muhammad Sururi yang merupakan salah satu imam dari masjid tersebut banyak perbicangan  yang saya lakukan untuk pemuas keingin tahuan saya menegani masjid ini serta beliau Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo. Waktu pun beranajak semakin gelap dan warna merah yang bercampur dengan warna unggu.
Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo, merupakan Bupati pertama dari Kabuptean Nganjuk yang mana beliau adalah seorang Tumenggung dari kerajaan Mataram Islam Ngayogyakarta yang datang ke daerah Nganjuk dengan misinya yaitu syiar ajaran Agama Islam yang kemudian diangkat menjadi Adipati di Berbek. Sebuah Kadipaten di kaki gunung Wilis yang merupakn Ibukota Kabupaten Ngajuk, di Kecamatan ini pula sejarah Kabupaten Ngajuk bermula dari sebuah Kadipaten Berbek yang diperintah oleh seorang Adipati. Beliau merupakan tokoh agama islam yang menyampaikan dakwah islamnya dengan cara menjunjung sikap toleransi, beliau gencar mensyiarkan ajaran islam di daerah tersebut karena pada saat itu merupakan sebuah peluang besar yang mana merupakan pemanfaatkan runtuhnya kerajaan Majapahit akhir yang berada di daerah tersebut yang dapat dibuktikan dengan adanya candi di Ngajuk seperti Candi Ngetos dan Candi Lor dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar yang menganut agama nenek moyang yaitu ajaran Hindu sebagai objek dakwahnya. Beliau merupakan sosok yang sangat toleransi dalam menyikapi segala hal terlebih mengenai sebuah kepercayaan ini yang menghantarkan masyarakat masuk kedalam ajaran islam pada waktu itu, bentuk toleransi ini juga dibuktikan dengan kebijakan beliau dengan tetap menghormati masyarakat yang kukuh pada ajaran Hindu dengan menyedikan tempat peribadatan yang berada di daerah Curik, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret yaitu berupa sebuah Pura Kerta Bhuwana Giri Willis.
Candi Ngetos dari sisi depan, berjarak 17 km ke Selatan dari Kota Nganjuk.


Pura Kerta Bhuwana Giri Willis namapk dari depan sebagai tempat peribadatan orang Hindu yang berada di Curik, Bajualan, Kecamatan Loceret, Nganjuk.

Raden Tumenggung Sosro Koesoemo wafat pada tahun 1760 (Leno Sarosa Pandito Iku), sebagai penggantinya adalah Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo dan dimakamkan di area sekitar masjid tepatnya disebelah Barat Masjid Al-Mubarok dengan posisi berada pada posisi 6 dari timur. Secara fisik, panjang kicijingan makam berukuran 2,60 m, lebar 0,90 m, dan tinggi 0,50 m serta tinggi nisan 0,95 m dan ditutupi dengan kain berwana hijau serta renda yang berwarna emas, serta diberi sebuah kerangak kayu sebagai tempat tirai yang berwarna hijau dan kuning sebagai penutup ke dua dari makam tersebut dan disebelah diutara makam terdapat payung tingkat 2 yang berwarna kuning emas, makam beliau berukurang tidak jauh beda dengan makam yang lainnya yang berada di kompleks pemakaman tersebut, ketika berada disamping makam atau kita sudah mulai memdekat dengan makam suasa tenang pun menyelimuti ruangan tersebut suara bising pun juga tek terliaht jelas padahal makam tersebut beada di jalan raya yang sangat ramai dari kendaraan. Dalam ruangan tersebut baling-baling kipas lah yang memecah keheningan dengan suaranya sebagai media untuk mendinginkan tempat tersebut serta sebagai media untuk menserklulasi udara  yang ada pada tempat tersebut, makam Kanjeng Jimat tersebut juga terletak berdekatan dengan alun-alun Berbek yang merupakan tempat yang sangat inti dalam segala bentuk aktifitas masyarakatnya. Bunga mawar dan melati menjadi parfum yang sangat melekat dalam makam tersebut bagaikan parfum yang menusuk hidung yang merupakan bunga yang diletakan diatas makam beliau bunga tersebut biasanya dibawa oleh peziarah yang datang kemakam tersebut bunga mawar, melati, kenanga dan katil serta potongan daun pandan tamapak seperti hiasan utama tatakala pada even-even yang sangat berkaitan dengan acara agama seperti peringatan suro serta tahun baru islam dan lain-lain. Suasana dingin pun juga sangat terasa tata kala penutup dari makam tersebut berwrna hijau dengan selingan warna kuning dan warna mas. Menjadikan kesan mata yang memandangnya menjadi tenang, damai dan sejuk. makam beliau berada didalam tempat atau dalam bahasa jawanya “omah-omahan” dengan bentuk pintu yang tidak tinggi agar ketika kita masuk dalam tempat tersebut kita bisa sendikit membungkuk sebagai bentuk rasa hormat untuk tidak seenaknya, dalam pintu masuk tersebut ada kita akan disambut dengan sebuah tempat air yang biasa disebut dengan Genthong dalam istilah jawa dan masyarakat sekitar, tidak jauh dari makam Kanjeng Jimat ada makam istri Kamjeng jimat dengan prasasti memakai huruf Arab, namun menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Punikao Pasarean Kanjeng Ratu Toemenggung Sosro Kusumo” makam tersebut ditutupi dengan kain berwarna kuning emas dan renda emas, dan diberi kernagka kayu dengan tirai berwarna putih dan kuning sebagai penutup ke dua dari makam tersebut. Makam istri kanjeng jimat tidak seglamor dengan makam Kanjeng Jimat tetapi lebih sederhanan dengan balutan warna kuning sebagai ciri khasnya yang membuat makam istri Kanjeng Jimat ini terasa dalam balutan hangat dari kedamaian yang ada ditempat tersebut.

Makam Kanjeng Jimat, dengan penutup makam berupa kain hijau dengan renda emas, serta tirai yang identik dengan warna hijau disebelah utara makam terdapat payung yang bertingkat dua.

Makam istri Kanjeng Jimat deengan penutup makam berupa kain berwrna kuning mas, serta tirai yang berwarna kuning.

Sebelum memasuki makam Kanjung Jimat kita akan disambut dengan baguanan kuno berupa gapura kecil berwana merah dan didekat gapura tersebut terdapat sebuah benda yang dianggap misterius yaitu terdapat ungkal kuno yang mana dalam ceritanya dahulu ada seorang pengikut Kanjeng Jimat yang terpaksa harus kembali ke daerah asalnya di Jawa Tengah untuk mengasah gaman (senjata). Kanjeng Jimat lalu menegurnya agar tidak perlu pulang. Sebab sudah ada di selatan masjid. Pengikut itu takjub, padahal sebelumnya tidak ada ungkal di sana. Akhirnya, ungkal itu dikenal sebagai “ungkal ajaib”. Gapura kecil berwarna merah yang menjadi pintu utama untuk masuk dalam makan merupkan tatanan batu merah denagn desain jawa kuno berupa gapura seperti pintu, gapura tersebut seperti sebuah pintu yang berlapis lapis dengan bentuk desain gapura yang semakin kedalam semakin mengkerucut, ketika kita mencoba masuk kedalam kita aka melihat makam-makan yang lain disekitar komplek pemakamn tersebut kemricik airpun menjadi pengatar langkah kaki saya dalam bagian pertama ini ada sebuah air mancur yang yang beada di sekitar komplek pemakaman tersebut yang berada disebelah selatan dari jalan menuju makam Kanjeng Jimat dan permaina ikan Koi dalam air sebagai selinganya suara yang masuk dalam indra pendengaran saya, menengok kesebelah utara ada bebrapa makam lain yang biberi tempat tertentu dengan chat putih yang melekat pada setiap warna yang ada, langkah kaki saya  pun terus menuju makam Kanjeng Jimat setelah melewati gapura kecil tadi kita akan disambut dengan gapura kedua yang menjulan tinggi dengan bata merah sebagai bahan bagunannya, disertai dengan bentuk gapura yang memiliki tingkatan diatasnya pada gapura ini kita akan disambut dengan patung macan putih yang identik dengan Kanjeng Jimat sendiri yang merupakan orang sakti  yang mana Macan putih sendiri merupakan sebuah upakan ajian langka yang memiliki tingkat kekuatan energi spiritual tingkat tinggi yang merupakan karomah dalam istilah metafisikanya penuturan Habib salah satu peziarah dari Warujayeng, Nganjuk yang sering datang kemakam tersebut. Salah satu sember lain mengatahakn bahwa jelmaan macan tersebut merupakan penjaga makam tersebut sebagai bentuk pengabdianya kepada Kanjeng Jimat penuturan Salim. Setelah kita memasuki gapura kedua ini kita baru akan melihat sebuah bagunana seperti rumah kuno dengan pintu yang tidak tinggi yaitu ± 150 meter di dalam bagunan inilah jasad Kanjeng Jiamat disemyangkan.
Peninggalan Kanjeng Jimat sebagai tokoh pembawa ajaran Islam adalah sebuah Masjid yang bernama Al-Mubarok yang berdiri pada tahun 1754. Seperti yang tertulis di prasasti Sosrokusumo 1 yang terpasang di tembok masjid bagian barat, keunikan masjid ini terlihat dari bentuk bangunan serta benda-benda yang ada di Masjid tersebut. Jika dilhat sekarang masjid ini bernuansa moderen dengan perpaduan warna putih, hitam dan emas dalam pewarnaan bagunan tersebut yang menutupi bagunan utamanya dan  gapura yang berwarna hitam dengan ornamen yang diberi warna emas. Masuk kedalamnya kita akan melihat sebuah Yoni atau sebuah batu untuk menetukan waktu sholat pada saat itu, dan mulai terlihat pula baguanan kedua yang ada tulisan Al-Mubarok dengan warna yang menghiasinya kuning dan hijau, dengan jalan masuk berupa sebuah lengkungan sejumlah empat, setelah masuk pada baguan ini kita akan melihat bagian teras masjid yang berubin hitam yang nyaman pada kaki saya saat menapakan kaki  pada lantai masjid tersebut dengan rasa sejuk yang tercipta dengan kesejukan yang diciptakan disinilah terdapat sebuah beduk beserta kentongan yang masih utuh yang dianggap mistis oleh warga sekitar. Karena pernah suatu ketika, Bupati Nganjuk ke-5 menyuruh untuk memindahkan bedug beserta mimbar ke Masjid Agung Nganjuk. Baru dipindahkan, kedua benda itu telah kembali lagi ke Masjid Al-Mubarok.
Masjid Al-Mubarok nampak dari depan yang telah direnovasi sehingga menutupi bagunan asli yang beraada dibelakangnya.

Pintu utama Masjid Al-Mubarok yang merupakan baguanan asli dengan lafadz Allah dan Muhammad serta ukiran jawa kuno yang berwarna emas dan dipadukan dnegan warna putih.

Yoni atau sebuah batu untuk menetukan waktu sholat pada saat itu.

Bedug yang dianggap mistis oleh warga sekitar. Karena pernah suatu ketika, Bupati Nganjuk ke-5 menyuruh untuk memindahkan bedug beserta mimbar ke Masjid Agung Nganjuk. Baru dipindahkan, kedua benda itu telah kembali lagi ke Masjid Al-Mubarok.

Terakhir, masjid utama yang sebagian besar masih asli interiornya sejak dibangun. Terlihat sekali konsep interior Jawa Kunonya. Namun tidak melepaskan unsur keislamannya. Dimulai dari mimbar tempat khotib berkhutbah. Ketika memasuki masjid saya melihat-melihat setiap bagaian masjid yang sangat unik dari tembok baguanan utama masjid yang tebal yang membuat orang yang berada dialamnya merasa nyaman dan tenang untuk beribadah kurang lebih tebalnya dinding masjid mencapai satu meter tanpa menggunakan semen. Hanya bata merah yang ditumpuk. Serta lukisan-lukisan sebagai ornamnen masjid berbentuk sebuah tumbuhan dan bunga, melalui perbincanagan saya dengan salah satu imam masjid yaitu bapak Sururi mengungungkapkan bahwa lukisan masjid tersbut adalah sebuah  bentuk seperti bunga melati maupun buah manggis. Dengan makna Keduanya itu menggambarkan umat Islam yang mana manggis, manis dalamnya dan lembut luarnya. Seperti umat Islam yang manis budi pekertinya dan lembut perilakunya. Begitupula dengan melati yang harum jika dinikmati serta sebuah mimbar yang sangat unik dengan ukirannya bercorak bunga-bunag mimbar tersebut terbuat dari kayu jati dan tidak menggunakan paku dalam pembuatanya, hanya berupa bagian-bagian yang dipasang-pasang. Didominasi warna emas dan merah serta warna abu-abu keemasan atau bron. Tak ketinggalan pula di atasnya terdapat sebuah aksesoris terbuat dari kuningan, yang menghiasai tungkup dari mimbar. Mata saya pun masih mengarah dengan garis horizontal menikmati suasana yang ada didalam masjid dan sampai akhirtnya tertuju pada sebuah empat tiang besar yang berada di tengah masjid yang merupakan 22 tiang bulat lainya yang bercat merah tua dari bonggol  kayu jati uniknya tiang ini tidak melekat dengan tembok dari bangunan tersebut. Sampai akhirnya mata pun mulai melihat kearah vertikal dan melihat atap masjid, yang terdiri dari tiga tingkatan, yang menggambarkan tiga amalan yang tidak ada putusnya sampai kiamat nanti. Dimulai dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang soleh. Penambahan Sururi. Setelah saya melihat-lihat bagaian dalam masjid saya memutuskan untuk keluar masjid untuk mencari makan, ketika saya melangkah keluar saya melihat sebuah tempat penyimpan Al-Quran yang unik dan terdapat tulisan Jodang pada tahun 1745 M, Jodang sendiri dalam masyarakat jawa merupakan sebuah tempat seserahan dari seorang mempelai laki-laki kepada seorang mempelai perempuan yang berisi bahan makanan yang akan diberikan kepada keluarga calon mempelai permempuan.
Mimbar yang ada di Masjid Al-Mubarok dengan ukiran bunga serta warna emas dan merah yang mendominasi, terdapat sebuah aksesoris terbuat dari kuningan, yang menghiasai tungkup dari mimbar.

Jodang tempat seserahan dari seorang mempelai laki-laki kepada seorang mempelai perempuan yang berisi bahan makanan yang akan diberikan kepada keluarga calon mempelai permempuan yang sekarng digunakan sebagi tempat Al-Quran.


Atap bagunan Masjid yang terdiri dari tiga tingkatan, yang menggambarkan tiga amalan yang tidak ada putusnya sampai kiamat nanti. Dimulai dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang soleh.


Bentuk ukiran yang berupa bunga bentuk seperti bunga melati maupun buah manggis. Dengan makna Keduanya itu menggambarkan umat Islam yang mana manggis, manis dalamnya dan lembut luarnya. Seperti umat Islam yang manis budi pekertinya dan lembut perilakunya. Begitupula dengan melati yang harum jika dinikmati.


Cobalah mengenal daerah sekitarmu terlebih tokoh yang berjasa dalam daerahmu sebagai bentuk cinta tanah air, tidak hanya sekekedar nongkrong dan berjalan-jalan di daerah sekitar mu tetapi cobalah lebih peka dengan suatu hal yang sangat uget dalam daerah tersebut. Sebagai sebuah catatan singkat saya cobalah kalian pahami itu ???

2 komentar: