Jimatnya Kota Angin
Mastuti
Rahayu
Lebih
baik terlambat dari pada tidak pernah mau memcoba memahami tokoh yang sangat
berjasa di daerah sendiri, bagaikan seorang yang tinggal disuatu rumah tetapi
tidak menggenali seseorang yang ada tempat tinggalnya mungkin itu ungkapan yang
dapat mencerminkan bagi sesorang yang sering menghabiskan waktu untuk kegiatan
nongkrong ataupun berjalan-jalan di daerah sekitanya tetapi tidak peka terhadap
disekitanrnya yang merupakan suatu yang ugren utuk diketahui seperti sosok
tokoh yang sangat berjasa dan dan merupakan tokoh penting dalam daerah tersebut.
Suasana
panas serta penat yang ada dalam tubuh ini mengahantarkan saya untuk bersinggah
disuatu tempat untuk beristirahat sejenak serta menunggu kumadang azan sholat
azar disebuah masjid yang sangat unik, saya pun duduk di sebuah pelataran
masjid yang sangat sejuk dengan alas lantai berupa batu hitam yang membuat
tempat tersebut terasa sangat sejuk padahal udara diluar masjid tersebut sangat
panas. Decak kagum saya pun terus berlanjut dengan mulai melihat-lihat betuk
bangunan masjid tersebut, serta mencoba mencari lebih lanjut teteng masjid
tersebut.
Masjid
tersebut merupakan masjid tertua yang didiriakan oleh Kanjeng Raden Tumenggung
Sosro Koesoemo atau yang lebih terkenalnya dengan sebutan Kanjeng Jimat, yang
terletak di Desa Ngrawan, Kecamatan Berbek, ± 8 km arah Sealatn Kota Nganjuk Jl.
Mayjen Supeno No.76, Ngrawan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Beliau
merupakan seorang tokoh yang sangat penting dalam sejarah Kabupten Nganjuk yang
mana beliau adalah Bupati pertama dari Kabupaten Nganjuk dan merupakan Adipati
ke empat dari Kadipaten Berebk, serta tokoh penyebar Agama Islam pada waktu
itu.
Suara
Azan pun berkumadang dengan suara yang sayup sedikit serank dan tersengal yang
menandakan memasukinya waktu sholat azar yang dikumandangkan seorang yang sudah
berusia tua. Saya pun beranjak untuk berwudu, setelah berwudu saya pun masuk
kedalam masjid untuk sholat berjama’ah, langkah kaki saya pun diiringi dengan
tatapan mata yang berdecak kagum dengan melihat setiap bagian yang ada dalam
masjid tersebut. Saya pun sholat berjama’ah dengan warga sekitar dan orang yang
singgah untuk menunaikan sholat, suara imam pun terdengar dengan lantunan
lafadz “Allahhuakabar” sebagai tanda dimulainya sholat azar. Setelah
melaksanakan sholat azar saya mencoba mencari informasi lebih dalam lagi dengan
cara bertanya kepada salah satu pengurus masjid. Bertemulah saya dengan satu
pengurus masjid yang bernama bapak Muhammad Sururi yang merupakan salah satu
imam dari masjid tersebut banyak perbicangan
yang saya lakukan untuk pemuas keingin tahuan saya menegani masjid ini
serta beliau Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo. Waktu pun beranajak
semakin gelap dan warna merah yang bercampur dengan warna unggu.
Kanjeng
Raden Tumenggung Sosro Koesoemo, merupakan Bupati pertama dari Kabuptean Nganjuk
yang mana beliau adalah seorang Tumenggung dari kerajaan Mataram Islam
Ngayogyakarta yang datang ke daerah Nganjuk dengan misinya yaitu syiar ajaran
Agama Islam yang kemudian diangkat menjadi Adipati di Berbek. Sebuah Kadipaten
di kaki gunung Wilis yang merupakn Ibukota Kabupaten Ngajuk, di Kecamatan ini
pula sejarah Kabupaten Ngajuk bermula dari sebuah Kadipaten Berbek yang
diperintah oleh seorang Adipati. Beliau merupakan tokoh agama islam yang
menyampaikan dakwah islamnya dengan cara menjunjung sikap toleransi, beliau gencar
mensyiarkan ajaran islam di daerah tersebut karena pada saat itu merupakan
sebuah peluang besar yang mana merupakan pemanfaatkan runtuhnya kerajaan
Majapahit akhir yang berada di daerah tersebut yang dapat dibuktikan dengan
adanya candi di Ngajuk seperti Candi Ngetos dan Candi Lor dengan
mempertimbangkan masyarakat sekitar yang menganut agama nenek moyang yaitu
ajaran Hindu sebagai objek dakwahnya. Beliau merupakan sosok yang sangat
toleransi dalam menyikapi segala hal terlebih mengenai sebuah kepercayaan ini
yang menghantarkan masyarakat masuk kedalam ajaran islam pada waktu itu, bentuk
toleransi ini juga dibuktikan dengan kebijakan beliau dengan tetap menghormati
masyarakat yang kukuh pada ajaran Hindu dengan menyedikan tempat peribadatan
yang berada di daerah Curik, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret yaitu berupa
sebuah Pura Kerta Bhuwana Giri Willis.
Candi
Ngetos dari sisi depan, berjarak 17 km ke Selatan dari Kota Nganjuk.
Pura
Kerta Bhuwana Giri Willis namapk dari depan sebagai tempat peribadatan orang
Hindu yang berada di Curik, Bajualan, Kecamatan Loceret, Nganjuk.
Raden
Tumenggung Sosro Koesoemo wafat pada tahun 1760 (Leno Sarosa Pandito Iku),
sebagai penggantinya adalah Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo dan
dimakamkan di area sekitar masjid tepatnya disebelah Barat Masjid Al-Mubarok
dengan posisi berada pada posisi 6 dari timur. Secara fisik, panjang kicijingan
makam berukuran 2,60 m, lebar 0,90 m, dan tinggi 0,50 m serta tinggi nisan 0,95
m dan ditutupi dengan kain berwana hijau serta renda yang berwarna emas, serta
diberi sebuah kerangak kayu sebagai tempat tirai yang berwarna hijau dan kuning
sebagai penutup ke dua dari makam tersebut dan disebelah diutara makam terdapat
payung tingkat 2 yang berwarna kuning emas, makam beliau berukurang tidak jauh
beda dengan makam yang lainnya yang berada di kompleks pemakaman tersebut, ketika
berada disamping makam atau kita sudah mulai memdekat dengan makam suasa tenang
pun menyelimuti ruangan tersebut suara bising pun juga tek terliaht jelas
padahal makam tersebut beada di jalan raya yang sangat ramai dari kendaraan.
Dalam ruangan tersebut baling-baling kipas lah yang memecah keheningan dengan
suaranya sebagai media untuk mendinginkan tempat tersebut serta sebagai media
untuk menserklulasi udara yang ada pada
tempat tersebut, makam Kanjeng Jimat tersebut juga terletak berdekatan dengan
alun-alun Berbek yang merupakan tempat yang sangat inti dalam segala bentuk
aktifitas masyarakatnya. Bunga mawar dan melati menjadi parfum yang sangat
melekat dalam makam tersebut bagaikan parfum yang menusuk hidung yang merupakan
bunga yang diletakan diatas makam beliau bunga tersebut biasanya dibawa oleh
peziarah yang datang kemakam tersebut bunga mawar, melati, kenanga dan katil
serta potongan daun pandan tamapak seperti hiasan utama tatakala pada even-even yang sangat berkaitan dengan
acara agama seperti peringatan suro serta tahun baru islam dan lain-lain. Suasana
dingin pun juga sangat terasa tata kala penutup dari makam tersebut berwrna
hijau dengan selingan warna kuning dan warna mas. Menjadikan kesan mata yang
memandangnya menjadi tenang, damai dan sejuk. makam beliau berada didalam
tempat atau dalam bahasa jawanya “omah-omahan” dengan bentuk pintu yang tidak
tinggi agar ketika kita masuk dalam tempat tersebut kita bisa sendikit membungkuk
sebagai bentuk rasa hormat untuk tidak seenaknya, dalam pintu masuk tersebut
ada kita akan disambut dengan sebuah tempat air yang biasa disebut dengan
Genthong dalam istilah jawa dan masyarakat sekitar, tidak jauh dari makam Kanjeng
Jimat ada makam istri Kamjeng jimat dengan prasasti memakai huruf Arab, namun
menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Punikao Pasarean Kanjeng Ratu
Toemenggung Sosro Kusumo” makam tersebut ditutupi dengan kain berwarna kuning emas
dan renda emas, dan diberi kernagka kayu dengan tirai berwarna putih dan kuning
sebagai penutup ke dua dari makam tersebut. Makam istri kanjeng jimat tidak
seglamor dengan makam Kanjeng Jimat tetapi lebih sederhanan dengan balutan warna
kuning sebagai ciri khasnya yang membuat makam istri Kanjeng Jimat ini terasa
dalam balutan hangat dari kedamaian yang ada ditempat tersebut.
Makam Kanjeng Jimat, dengan
penutup makam berupa kain hijau dengan renda emas, serta tirai yang identik
dengan warna hijau disebelah utara makam terdapat payung yang bertingkat dua.
Makam istri Kanjeng Jimat deengan
penutup makam berupa kain berwrna kuning mas, serta tirai yang berwarna kuning.
Sebelum
memasuki makam Kanjung Jimat kita akan disambut dengan baguanan kuno berupa
gapura kecil berwana merah dan didekat gapura tersebut terdapat sebuah benda
yang dianggap misterius yaitu terdapat ungkal kuno yang mana dalam ceritanya dahulu
ada seorang pengikut Kanjeng Jimat yang terpaksa harus kembali ke daerah
asalnya di Jawa Tengah untuk mengasah gaman (senjata). Kanjeng Jimat lalu
menegurnya agar tidak perlu pulang. Sebab sudah ada di selatan masjid. Pengikut
itu takjub, padahal sebelumnya tidak ada ungkal di sana. Akhirnya, ungkal itu
dikenal sebagai “ungkal ajaib”. Gapura kecil berwarna merah yang menjadi pintu
utama untuk masuk dalam makan merupkan tatanan batu merah denagn desain jawa
kuno berupa gapura seperti pintu, gapura tersebut seperti sebuah pintu yang berlapis
lapis dengan bentuk desain gapura yang semakin kedalam semakin mengkerucut, ketika
kita mencoba masuk kedalam kita aka melihat makam-makan yang lain disekitar
komplek pemakamn tersebut kemricik airpun menjadi pengatar langkah kaki saya
dalam bagian pertama ini ada sebuah air mancur yang yang beada di sekitar
komplek pemakaman tersebut yang berada disebelah selatan dari jalan menuju
makam Kanjeng Jimat dan permaina ikan Koi dalam air sebagai selinganya suara
yang masuk dalam indra pendengaran saya, menengok kesebelah utara ada bebrapa
makam lain yang biberi tempat tertentu dengan chat putih yang melekat pada
setiap warna yang ada, langkah kaki saya pun terus menuju makam Kanjeng Jimat setelah
melewati gapura kecil tadi kita akan disambut dengan gapura kedua yang menjulan
tinggi dengan bata merah sebagai bahan bagunannya, disertai dengan bentuk
gapura yang memiliki tingkatan diatasnya pada gapura ini kita akan disambut
dengan patung macan putih yang identik dengan Kanjeng Jimat sendiri yang
merupakan orang sakti yang mana Macan
putih sendiri merupakan sebuah upakan ajian langka yang memiliki tingkat
kekuatan energi spiritual tingkat tinggi yang merupakan karomah dalam istilah
metafisikanya penuturan Habib salah satu peziarah dari Warujayeng, Nganjuk yang
sering datang kemakam tersebut. Salah satu sember lain mengatahakn bahwa
jelmaan macan tersebut merupakan penjaga makam tersebut sebagai bentuk
pengabdianya kepada Kanjeng Jimat penuturan Salim. Setelah kita memasuki gapura
kedua ini kita baru akan melihat sebuah bagunana seperti rumah kuno dengan
pintu yang tidak tinggi yaitu ± 150 meter di dalam bagunan inilah jasad Kanjeng
Jiamat disemyangkan.
Peninggalan
Kanjeng Jimat sebagai tokoh pembawa ajaran Islam adalah sebuah Masjid yang
bernama Al-Mubarok yang berdiri pada tahun 1754. Seperti yang tertulis di
prasasti Sosrokusumo 1 yang terpasang di tembok masjid bagian barat, keunikan
masjid ini terlihat dari bentuk bangunan serta benda-benda yang ada di Masjid
tersebut. Jika dilhat sekarang masjid ini bernuansa moderen dengan perpaduan
warna putih, hitam dan emas dalam pewarnaan bagunan tersebut yang menutupi
bagunan utamanya dan gapura yang berwarna
hitam dengan ornamen yang diberi warna emas. Masuk kedalamnya kita akan melihat
sebuah Yoni atau sebuah batu untuk menetukan waktu sholat pada saat itu, dan
mulai terlihat pula baguanan kedua yang ada tulisan Al-Mubarok dengan warna
yang menghiasinya kuning dan hijau, dengan jalan masuk berupa sebuah lengkungan
sejumlah empat, setelah masuk pada baguan ini kita akan melihat bagian teras
masjid yang berubin hitam yang nyaman pada kaki saya saat menapakan kaki pada lantai masjid tersebut dengan rasa sejuk
yang tercipta dengan kesejukan yang diciptakan disinilah terdapat sebuah beduk
beserta kentongan yang masih utuh yang dianggap mistis oleh warga sekitar.
Karena pernah suatu ketika, Bupati Nganjuk ke-5 menyuruh untuk memindahkan
bedug beserta mimbar ke Masjid Agung Nganjuk. Baru dipindahkan, kedua benda itu
telah kembali lagi ke Masjid Al-Mubarok.
Masjid Al-Mubarok nampak dari depan yang telah
direnovasi sehingga menutupi bagunan asli yang beraada dibelakangnya.
Pintu utama Masjid Al-Mubarok
yang merupakan baguanan asli dengan lafadz Allah dan Muhammad serta ukiran jawa
kuno yang berwarna emas dan dipadukan dnegan warna putih.
Yoni atau sebuah batu untuk menetukan waktu sholat
pada saat itu.
Bedug yang dianggap mistis oleh
warga sekitar. Karena pernah suatu ketika, Bupati Nganjuk ke-5 menyuruh untuk
memindahkan bedug beserta mimbar ke Masjid Agung Nganjuk. Baru dipindahkan,
kedua benda itu telah kembali lagi ke Masjid Al-Mubarok.
Terakhir,
masjid utama yang sebagian besar masih asli interiornya sejak dibangun.
Terlihat sekali konsep interior Jawa Kunonya. Namun tidak melepaskan unsur
keislamannya. Dimulai dari mimbar tempat khotib berkhutbah. Ketika memasuki
masjid saya melihat-melihat setiap bagaian masjid yang sangat unik dari tembok
baguanan utama masjid yang tebal yang membuat orang yang berada dialamnya
merasa nyaman dan tenang untuk beribadah kurang lebih tebalnya dinding masjid mencapai
satu meter tanpa menggunakan semen. Hanya bata merah yang ditumpuk. Serta
lukisan-lukisan sebagai ornamnen masjid berbentuk sebuah tumbuhan dan bunga,
melalui perbincanagan saya dengan salah satu imam masjid yaitu bapak Sururi
mengungungkapkan bahwa lukisan masjid tersbut adalah sebuah bentuk seperti bunga melati maupun buah
manggis. Dengan makna Keduanya itu menggambarkan umat Islam yang mana manggis,
manis dalamnya dan lembut luarnya. Seperti umat Islam yang manis budi
pekertinya dan lembut perilakunya. Begitupula dengan melati yang harum jika
dinikmati serta sebuah mimbar yang sangat unik dengan ukirannya bercorak
bunga-bunag mimbar tersebut terbuat dari kayu jati dan tidak
menggunakan paku dalam pembuatanya, hanya berupa bagian-bagian yang
dipasang-pasang. Didominasi warna emas dan merah serta warna abu-abu keemasan
atau bron. Tak ketinggalan pula di atasnya terdapat sebuah aksesoris terbuat
dari kuningan, yang menghiasai tungkup dari mimbar. Mata saya pun masih
mengarah dengan garis horizontal menikmati suasana yang ada didalam masjid dan
sampai akhirtnya tertuju pada sebuah empat tiang besar yang berada di tengah
masjid yang merupakan 22 tiang bulat lainya yang bercat merah tua dari
bonggol kayu jati uniknya tiang ini
tidak melekat dengan tembok dari bangunan tersebut. Sampai akhirnya mata pun
mulai melihat kearah vertikal dan melihat atap masjid, yang terdiri dari tiga
tingkatan, yang menggambarkan tiga amalan yang tidak ada putusnya sampai kiamat
nanti. Dimulai dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang soleh.
Penambahan Sururi. Setelah saya melihat-lihat bagaian dalam masjid saya
memutuskan untuk keluar masjid untuk mencari makan, ketika saya melangkah
keluar saya melihat sebuah tempat penyimpan Al-Quran yang unik dan terdapat
tulisan Jodang pada tahun 1745 M, Jodang sendiri dalam masyarakat jawa
merupakan sebuah tempat seserahan dari seorang mempelai laki-laki kepada
seorang mempelai perempuan yang berisi bahan makanan yang akan diberikan kepada
keluarga calon mempelai permempuan.
Mimbar yang ada di Masjid
Al-Mubarok dengan ukiran bunga serta warna emas dan merah yang mendominasi, terdapat
sebuah aksesoris terbuat dari kuningan, yang menghiasai tungkup dari mimbar.
Jodang
tempat seserahan dari seorang mempelai laki-laki kepada seorang mempelai
perempuan yang berisi bahan makanan yang akan diberikan kepada keluarga calon
mempelai permempuan yang sekarng digunakan sebagi tempat Al-Quran.
Atap bagunan Masjid yang terdiri
dari tiga tingkatan, yang menggambarkan tiga amalan yang tidak ada putusnya
sampai kiamat nanti. Dimulai dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa
anak yang soleh.
Bentuk ukiran yang berupa bunga bentuk
seperti bunga melati maupun buah manggis. Dengan makna Keduanya itu
menggambarkan umat Islam yang mana manggis, manis dalamnya dan lembut luarnya.
Seperti umat Islam yang manis budi pekertinya dan lembut perilakunya.
Begitupula dengan melati yang harum jika dinikmati.
Cobalah mengenal daerah
sekitarmu terlebih tokoh yang berjasa dalam daerahmu sebagai bentuk cinta tanah
air, tidak hanya sekekedar nongkrong dan berjalan-jalan di daerah sekitar mu
tetapi cobalah lebih peka dengan suatu hal yang sangat uget dalam daerah
tersebut. Sebagai sebuah catatan singkat saya cobalah kalian pahami itu ???
BalasHapusTulisan keren kak,Kami dealer motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek. Lihat lihat motor bisa klik disini
Order makanan di tulungagung klik disini
BalasHapus