Senin, 30 Oktober 2017

Kampung Emping: Warisan Budaya Yang Perlu Dilestarikan

Kampung Emping: Warisan Budaya Yang Perlu Dilestarikan
Proses produksi emping mlinjo di Dusun Ngadirejo, Pojok Ngntru, Tulungagung diduga hampir punah. Keminatan masyarakat untuk berprofesi sebagai pembuat emping mlinjo kian menurun, salah satu keluarga Marji-Karyati tetap setiap pada warisan lokal ini”
Oleh Tania Pramayuani



Keseharian Marji-Karyati memproduksi emping mlinjo
Mewarisi budaya nenek moyang adalah pilihan bagi keluarga Marji-Karyati. Keluarga yang hidup di Dusun Ngadirejo-Pojok, Ngantru ini memilih produksi emping mlinjo sebagai mata pencaharian wajib bagi keluarganya. Memang, Dusun Ngadirejo adalah pusatnya produsi emping mlinjo di Tulungagung. Dan kali pertama daerah penggagas produksi emping mlinjo di Tulungagung adalah di desa yang memiliki enam dusun ini. Hampir 50 persen, warga Dusun Ngadirejo bermata pencaharian di sektor industri. Utamanya di sektor industri pertanian yang berbasis wirausaha, seperti pertanian Jagung, padi dan wirausaha emping mlinjo. Namun, khusus untuk Dusun Ngadirejo ini, masyarakat hampir 80 persen memilih usaha emping mlinjo. Setiap jam kerja (07.00-15.00), masyarakat di dusun ini sudah menyibukkan diri dengan aktivitas wirausahanya di sektor emping mlinjo. Pemandangan ibu-ibu yang sedang mengupas kulit mlinjo di teras rumahnya sudah menjadi hal umum. Hampir di setiap rumah, pemandangan seperti ini menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Desa Pojok, Ngantru. Namun bagi masyarakat di luar Kecamatan Ngantru  merasa melihat pemandangan masyarakat ini adalah pemandangan yang indah dan menjungjung tinggi rasa kekelurgaan.

Di Dusun Ngadirejo, tak hanya keluarga Marji-Karyati yang menggeluti produksi emping Mlinjo. Namun, khusus untuk kelurga ini, melakukan wirausaha emping mlinjo secara mandiri. Tanpa karyawan dan semua proses yang dilakukan pembuatan emping mlinjo dikerjakan oleh pasangan suami istri ini, kecuali pada proses pengupasan kulit mlinjo. Marji (56 tahun), membeli mlinjo yang sudah dikupas kulitnya dengan harga Rp 5000,- per kg dari trenggalek. Untuk saat ini, para pengusaha emping mlinjo tak kesulitan mencari bahan baku pembuatan emping mlinjo. Sudah banyak daerah pemasok mlinjo yang mensuplay mlinjo untuk masyarakat Dusun Ngadirejo. Memang, di hampir setiap rumah ada pohon mlinjo. Tapi untuk menunggu pohon mlinjo dari pohon tersebut dapat dimanfaatkan menjadi emping harus menunggu lebih dari lima tahun. Tapi karena adanya pemasok dari Trenggalek, akhirnya masyarakat Ngadirejo dapat memproduksi mlinjo setiap hari.

Istrinya, Karyati, setiap hari menggoreng mlinjo yang sudah dikupas kulitnya hingga tersisa bagian daging mlinjo. Setelah itu, Marjilah yang menjetak mlinjo hingga bulat. Badannya yang kurus, ternyata mempu menganggat palu dan memalu mlinjo hingga benar-benar berbentuk bulat. Jika dilihat, usahanya yang digeluti sangat berat, apalagi diusianya yang sudah melebihi enam puluh tahun, ternyata tidak membuat Marji alih profesi. Dia tetap setia dengan profesinya sebagai membuat emping mlinjo. “Ya, kalau dibilang berat ya berat mbak. Tangan rasanya juga capek. Tiap hari mukuli ini, apalagi kalau mukulnya tidak cepat-cepat, maka mlinjonya tidak jadi emping dan malah rugi. Dan ini juga usaha turun temurun dari ayah saya, Mbak. Kalau bukan saya yang melestarikan siapa lagi. Dari kelima saudara saya, yang mau melanjutkan ya hanya saya. Saya anak terakhir” tuturnya. Perjuangan Marji untuk terus melestarikan usaha turun temurun ini membuatnya cukup dikenal di masyarakat. Walau usahanya tidak sebesar usaha produsen mlinjo yang lain yang baru membuka usahanya, Marji tidak mempermasalahkan hal ini. Bahkan dia sangat senang kalau banyak yang mau membuka usaha emping mlinjo. “Kita tidak saingan disini, yang penting kerja, membuat emping dan saling membantu. Sebelah barat rumah saya juga produksi emping mlinjo, bahkan lebih besar juga dan punya karyawan, namanya Pak Joko. Tapi kami tetap rukun dan bahkan kami sering mencari pemecahan masalah mengenai mlinjo ataupun pemasaran ini sama-sama”.

Marji membuat emping sesuai dengan permintaan pasar. Bentunya yang bulat kecil, maupun lebar tergantung pada permintaan pasar yang didapatnya. Usai dibentuk bulat, emping mlinjo yang sudah berbentuk bulat tersebut di panaskan selama satu hari. Setelah itu, emping siap dipasarkan. Semua proses yang dilakukan oleh keluarga Marji masih menggunakan alat-alat tradisional. Termasuk penggorengan juga masih menggunakan tungku kayu bakar, dan alat yang digunakan untuk membentuk bulat, juga masih menggunakan palu dan batu sebagai alasnya. Dengan sedikit kemajuan, proses pembuatan bentuk mlinjo yang dibuat Marji sudah menggunakan plastik sebagai alas. Hal ini dilakukan agar mlinjo yang sudah berbentuk bulat tidak lengket dan mudah diambil. “Penggunaan plastik sebagai alas ini masih dilakukan warga sekitar dua tahun terakhir. Sebelumnya, mlinjo langsung di palu di atas batu tanpa plastik” tambah Marji.

Karyati juga menambahkan bahwa proses penggorengan mlijo sudah banyak menggunakan alat-alat modern. Tapi produksinya masih menggunakan alat-alat tradisional, alat-alat yang dulu digunakan oleh nenek moyangnya. “Menggunakan apapun alatnya tidak masalah. Yang terpenting nanti jadinya enak. Menggunakan alat modern pun juga butuh biaya mahal. Kalau nuruti biaya, nanti malah tidak jadi produksi” tuturnya. Semangatnya untuk terus memproduksi emping mlinjo dengan alat yang seadanya dan dikerjakan secara mandiri,yang  hanya dengan suaminya, menujukkan tekadnya yang kuat untuk tetap melestarikan warisan nenek moyang. Apalagi dia juga mendukung penuh profesi yang dipilih oleh suaminya, Marji.

 Beberapa warga sekitar, yang wirausahanya sudah besar dengan beberapa karyawan, juga menggukan alat dari listrik untuk menghilangkan kulit mlinjo yang berwarna hitam. Sedang Karyati, masih menggunakan alu untuk mengupas kulit mlinjo tersebut.Dia masih menggunakan cara manual. Dari satu kilogram mlinjo yang dibelinya sebagai bahan baku, tak seratus persen mlinjo satu kilogram mampu menghasilkan emping satu kilogram juga. Kadang, satu kilogram mlinjo mampu di buat 8 ons emping. Hal ini dikarenakan saat proses produksi, mulai dari penggupasan kulit luar sampai tersisa daging mlinjo membuang kulit terluar dan kulit dalam mlijo, akhirnya berat mlinjo tidak sesuai dengan berat awal saat membeli. Ya, karena yang digunakan hanya daging mlinjo, maka tak heran jika beratnya berkurang. Dan inilah salah satu juga yang menjadi perhitungan produsen emping mlinjo menjual mlinjo dengan harga yang masih relatif mahal di pasaran. Apalagi, emping mlinjo merupakan makanan yang asli tanpa bahan pengawet. Dapat dipastikan, emping mlinjo aman bagi kesehatan.

Emping yang diproduksi oleh warga Ngadirejo, dipasarkan di Pasar Sambi, Kediri. Mayoritas masyarakat Ngadirejo tidak menjual emping ke pasar sendiri, melainkan ada distibutor yang datang dan menjualkannya ke pasar. Jarak antara tempat produksi dan pasar sekitar sepuluh kilometer. Hal ini juga salah satu pertimbangan emping harganya masih mahal. Harga jual emping mlinjo dari produsen asli Rp 30.000,00 per kg. Dan dijual di pasaran, bisa sekitar Rp 40.000,00 per kg. Jika diperhitungkan, keuntungan yang diraup per kg sekitar Rp 15.000,-. “satu kilogram mlinjo, upah mengupas kulit luar Rp 1000,- sedangkan upah memalunya Rp 4000,- per kg. Dan satu kilogram mlinjo Rp 5000,-. Jadi total Rp 10000,-. Namun, 10.000 itu tidak utuh satu kilogram, mungkin bersihnya sekitar Rp 15.000,00” jelas Marji. Dia sendiri juga mengatakan bahwa produksi emping mlinjo ini susah-susah mudah. Jika dibanding dengan zaman ayahnya Marji, produsen emping mlinjo sudah mulai berkurang. Memang saat ini masih mendominasi Dusun Ngadirejo, tapi tidak sebanyak zaman dulu. Seiring dengan perkembagan zaman, produksi emping mlinjo mulai kurang diminati kaum muda. Marji juga mengatakan bahwa anaknya, yang masih berusia SD, tidak ada niatan untuk membantu usahanya. “Memagang palu saja tidak mau, anak saya. Malah yang satunya kuliah di Jogja. Ya, harapan saya, anak saya nanti kerjanya bisa lebih baik dari Bapaknya. Entah nanti emping mlinjo ini ada yang meneruskan atau tidak saya juga tidak tahu. Saya sendiri berharap ada yang meneruskan, tapi saya juga tidak mau anak saya bekerja susah seperti saya. Harapan saya anak saya sekolah yang tinggi, jadi orang bener dan mempunyai usaha emping mlinjo yang besar” ungkapnya. Marji mempunyai harapan yang besar untuk usahanya agar mampu berkembang lebih besar lagi, tapi dia juga tidak dapat memaksa kehendak anaknya. Harapannya masih ada yang mau melestarikan usahanya itu nanti. Tapi anaknya juga tidak dipaksa agar menjadi produsesn emping mlinjo. Dia menginginkan anaknya memperoleh profesi yang lebih baik darinya, tapi tetap memegang warisan nenek moyang. Karyati, menyetujui apa yang diungkapkan oleh Marji. Dia mendukung sepenuhnya segela keputusan Marji.

Kendati Dusun Ngadirejo ini terkenal dengan produksi emping mlinjonya, namun masyarakat sekitar juga mengalami sedikit keresahan apakah usaha emping mlinjo akan tetap lestari atau tidak. Masalahnya, generasi muda sekarang jarang yang mau melanjutkan usaha mlinjo. Seperti penuturan keluarga Marji sendiri, mayoritas muda-mudi lebih memilih bekerja di luar rumah. Jika di lihat memang cukup sulit usaha emping mlinjo. Dalam sehari, Marji memprodusi 7,5 kg emping. Jika dihitung, dalam satu bulan mampu memproduski hampir 180 kg. Jumlah yang cukup banyak namun juga membutuhkan tenaga yang cukup kuat juga. Walaupun jumlah yang dihasilkan banyak, tapi tak semua hasil tersebut mampu terjual di pasaran. Dan salah satu resiko yang harus ditanggung oleh produsen mlinjo adalah jika emping-empingnya tak laku di pasaran. “Karena resikonya cukup berat dan kerjanya lumayan berat juga, akhirnya banyak muda-mudi yang tidak berminat meneruskan usaha ini” jelas Karyati.

Untuk tetap menjadikan Ngadirejo sebagai sentra usaha emping mlinjo, pemerintah desa setempat sudah mengusahakan beberapa bantuan pengembangan usaha emping mlinjo. Seperti usaha milik Marji ini juga pernah mengalami kegagalan.  Mulanya, Marji meneruskan usaha ayahnya saat masih muda, kemudian dia berhenti dan memulai usaha emping mlinjo sejak tahun 1998 sampai saat ini. Jika dihitung Marji sudah menekuni usaha ini selama 19 tahun dan penggunaan produksi empingnya masih mempertahankan cara-cara tradisional. Sebenarnya, selain memproduksi emping mlinjo, ada usaha lain seperti bertani. Jadi masyarakat Ngadirejo banyak juga yang mempunyai usaha lain selain produski emping mlinjo. Desa Pojok, Ngantru ini memang memusatkan mata pencaharian masyarakatnya pada sektor pertanian, entah itu berkaitan dengan porses pertanian sendiri maupun tentang pengolahan hasil pertanian seperti produksi emping mlinjo. Di desa setempat, sudah ada alat modern pembenihan bibit tanam, alat modern kompas dan alat-alat pertanian lainnya. Pemerintah desa sudah menyiapkan hal itu dan memfasilitasi untuk warga setempat. Tapi lagi-lagi semua itu tidak gratis, melainkan berbayar. Warga yang menginginkan harus menyewa alat-alat tersebut. Dan menurut keluarga Marji hal ini sangat memberatkan keluarganya. “Saya pakai yang tradisional saja, yang penting tetap bisa jalan apapun usahanya. Dipakai untuk nyewa uangnya tidak ada. Mendingan untuk modal” terangnya.

Warga yang sedang mengupas kulit mlinjo
Produksi emping mlinjo memang membawa efek yang cukup bagus untuk membuka lapangan pekerjan bagi ibu-ibu rumah tangga dan untuk mengisi waktu luang, misal saja untuk pekerjaan bagian mengupas kulit terluar mlinjo. Setiap satu kilogram kulit luar mlinjo diberi upah seribu rupiah. Biasanya mereka mampu mengupas lima kilogram dalam sehari. Dan pekerjaan ini tidak begitu berat, dikarena mampu dikerjakan sambil bersantai. Salah satu ibu rumah tangga, yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa pekerjaan ini tak cukup berat baginya. “Menurut saya ini menguntungkan bagi saya. Lumayanlah untuk tambah-tambah penghasilan bisa untuk membeli sabun dan kerjanya juga tidak berat. Saya tinggal duduk sambil mengupas sudah bisa. Malah bisa sambil ngobrol bareng ibu-ibu yang lain. Untuk hiburan juga sih, Mbak” ungkapnya pada penulis saat penulis mendatangi rumahnya, kemarin (29/10). Begitu juga dengan seorang nenek, Miayati, yang mengupas kulit mlinjo juga mengatakan bahwa mengupas kulit mlinjo tidak berat baginya, “Kalau saya yang mampu hanya ini mbak. Selain ini, saya juga tidak tahu mau bekerja apa lagi” tuturnya. Nenek yang berusia hampir tujuh tahun itu memilih untuk tetap bekerja santai, dia tidak suka diam saja. Adanya usaha emping mlinjo ini merupakan suatu hal positif bagi masyarakat sekitar pula.

Antusias masyarakat Ngadirejo yang cukup baik tentang produsi emping mlinjo yang mampu memberikan peluang kerja bagi masyarakat setempat, entah itu sebagai pekerjaan sampingan atau mata pencaharian utama menjadi hal yang patut untuk terus dilestarikan. Perangkat desa setempat, sudah mengupayakan untuk melestarikan usaha produski emping mlinjo sebagai ciri khas Desa Pojok, Ngadirejo dengan memberikan bantuan berupa alat-alat produksi. Memang, alat yang diberikan bukan alat-alat modern, bukan seperti mesin mengupas kulit, melainkan masih sebatas alu, alas batu dan modal untuk mengembangkan usaha. Kendati sudah diberikan bantuan pengembangan dana, alat-alat produksi, tapi usaha emping mlinjo belum dapat kembali eksis seperti zaman lima belas tahun terakhir. Hanya saja usaha ini tetap ada di desa Ngadirejo. Inilah salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah guna melestarikan usaha emping mlinjo ini. Dan permintaan pasar pun juga menjadi salah satu pertimbangan keminatan masyarakat memesan emping mlinjo. Para produksi dan pekerja emping mlinjo kadang menyayangkan juga jika terjadi pesanan yang sepi. “Kalau sepi gitu, lima kilogram bisa untuk tiga hari. Dan kita juga sering nganggur” kata karyawan pengupas kulit.

Zaman dulu, Desa Ngadirejo, emping sangat diminati masyarakat, entah masyarakat sekitar maupun masyarakat luar Tulungaung. Emping diminatitidak hanya sebagai makanan saat ada hajatan saja, melainkan sebagai makanan camilan sehari-hari. Pemasaran dulu sangat luas, karena banyak permintaan pesanan dari banyak daerah. Namun saat ini pemasaran hanya dipasarkan ke Tulungagung, Kediri dan Blitar.Namun, seiring dengan perkembangan zaman, saat ini emping hanya dipesan saat ada hajatan saja dan paling ramai pesanan emping menjelang Idul Fitri. Saat menjelang Idul Fitri pesanan emping bisa sampai dipasarkan ke luar Jawa Timur. Emping khas Ngadirejo, daerah penggagas asli emping ini mempunyai ciri khasemping dengan rasanya yang gurih, tanpa pengawet dan penyedap rasa dan tahan lama juga. Emping Ngadirejo berbeda dengan emping manis. Emping manis, yang berbentuk kecil-kecil, asli dari daerah Jawa Tengah dan ada tambahan pemanisnya. Sedangkan emping Ngadirejo, rasanya gurih, dan masyarakat setempat juga tidak memproduksi emping manis tersebut. Pemasaran untuk daerah Tulungagung dipasarkan di Pasar Wage. Marji mengatakan kalau emping buatannya selalu diambil oleh distributor dan dipasarkan sampai luar Tulungagung. Saat mendekati Idul Fitri dan di bulan-bulan tertentu, misalnya pada bulan Dzulhijjah, pesanan emping sangat ramai dan dirinya sampai kewalahan. “Pas banyak orang hajatan itu, pesanan sampai dari luar Tulungagung. Dan kadang saya bisa bekerja tidak mengenal waktu. Memang biasanya saya bekerja jam 7 sampai jam 3, tapi saat ada pesanan saya bisa sampai jam 5” jelasnya. Marji dan istrinya memang jarang libur memproduksi emping, jumlah maksimal diperolehnya 7,5 kg per hari. Kadang juga sehari memproduksi 3 kg. Marji menambahkan juga kalau warga sekitar, biasanya kalau Minggu pada libur mencetak emping. Tapi Marji tidak libur.

Tekadnya yang kuat untuk terus melestarikan warisan turun-temurun dari nenek moyangnya terus dilestarikan. Kendati sempat jatuh bangun, ia mulai merintis lagi usaha itu sampai sekarang. Produksi emping sebagai salah satu mata pencaharian wajib baginya, yang penghasilannya tidak menentukan tidak membuatnya alih profesi. Apalagi istrinya, Karyati juga mendukung profesinya itu. untuk menutupi semua kekurangan kebutuhan keluarga, keluarga Marji juga mencoba usaha pertanian. Jadi selain menekuni usaha turun temurun, yang wajib baginya, dia juga melakukan usaha lain seperti bertani. Keseharian Marji bersama sang istri, yang setiap pagi sampai sorememalu mlinjo dengan palu seberat 3 kg dan menggoreng mlinjo di wajan yang terbuat dari gerabah sambil duduk bersimpuh di lantai yang masih beralas tanah di dapur yang dindingnya terbuat dari bilik bambu, sedikitpun kondisi seperti itu tidak pernah mematahkan semangat pasangan suami istri ini untuk terus bekerja di sektor industri bahan pangan demi melestarikan warisan ayahnya. Semangat kerjakerasnya dan harapan perbaikan untuk generasi setelah mereka merupakan wujud rasa tanggungjawab mereka. Perjuangan keluarga Marji-Karyati untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya dengan usaha emping mlinjo tersebut merupakan usaha kerasnya. Akankah usaha itu hilang seiring dengan perkembangan zaman atau malah akan semakin berkembang mewarnai produk pasaran olahan bahan tani. Keluarga Marji-Karyati telah membuktikan walaupun hanya dengan profesi sebagai pembuat emping mlinjo, mereka tetap bisa menyekolahkan anaknya hingga ke luar provinsi dan tetap tidak menghilangkan kewajibanyya untuk terus melestarikan warisan nenek moyang. Adakah para generasi muda yang masih berminat melanjukan usaha tersebut?(tan)



*untuk mengetahui tulisan-tulisan saya yang lain, dapat dikepoin disini http://coretantangantania.blogspot.co.id/

3 komentar: