“Seni tidak hanya muncul dari guratan dan lekukan dari sebuah karya, tetapi
bagaimana soul dan feel itu mengisi setiap guratan dan lekukan agar terlihat
nyata dan hidup”
-Gallih Ari Fadli-
Tulungagung - Kopi merupakan minuman yang kental dengan
nuansa sosial. Hal itu bisa dilihat kebenarannya dalam lingkup masyarakat
Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai minuman yang nikmat
disajikan dalam kondisi panas apalagi jika ditemani oleh beberapa makanan
ringan atau juga beberepa batang rokok, bagi seorang perokok. Meski kopi bukan
merupakan produk lokal Indonesia, namun buah yang yang satu ini menjadi
komoditas utama bagi masyarakat Indonesia dewasa Indonesia. Bagi beberapa
kalangan masyarakat, kopi merupakan menjadi sebuah kebutuhan hidup, selain
manfaat kanfein yang terkandung didalamnya untuk mencegah kantuk, juga kopi ini
bagus untuk meningkatkan semangat atau sekedar merelaksasi pikiran dari
kesibukan yang sedang dialami.
Dewassa ini
kedai atau warung kopi mulai menjamur diberbagai wilayah hampi seluruh
Indonesia. Selain mempunyai provit yang cukup menjanjikan, karena biasanya
orang-orang yang pergi ke kedai atau warung kopi tidak sendirian, melaikan
bersama teman, kolega, atau bahkan kekasihnya. Biasanya banyak diantara mereka
memilih kedai kopi sebagai tempat berkumpul karena tempatnya yang nyaman dan
juga harga yang ditawarkan pun tidak terlalu merogoh kocek terlalu dalam.
Sehingga baik kalangan ekonomi menengah keatas maupun kebawah dapat
menikmatinya. Tapi banyak juga diantara kedai kopi tersebut yang menawarkan
variasi kopi sehingga harganya pun juga relatif lebih mahal dari harga normal,
dan biasanya didukung oleh berbagai vasilitas yang setimpal, mulai dari desain
ruang, pemilihan perabot yang dipakai, sampai dengan live music atau berbagai
pertujukan lain yang menarik minat konsumen.
Meskipun bukan
merupakan produk lokal dari Indonesia, nyatanya dewasa ini Indonesia menjadi
pengekspor kopi terbesar ke 3 didunia menurut website https://mlgcoffee.com/. Jika diurut kebelakang dari historisnya kopi
ditemukan oleh orang-orang berkebangsaan Ethiopia dari Benua Afrika yang
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pengembala kambing. Kebiasaan
mengolah tanaman kopi ini lalu didasari oleh temuan beberapa orang yang melihat
kambing tidak terlelap meski matahari mulai tenggelam setelah memakan tanaman
sejenis buah berry. Dikarenakan perasaan penasaran yang amat tinggi akhirnya
mereka mengolahnya dengan mencampurnya dengan daging atau dikeringkan, sehingga
pada awal penemuannya tanaman kopi menjadi makanan atau minuman berenergi.
Tahun berikutnya kopi menyebar kedataran Arabia, diwilayah ini kopi juga
digunakan sebagai penambah energi karena khasiatnya yang sangat banyak. Namun,
pembudidayaan kopi ini tidak dapat dilakukan didataran Arabia dikarenakan
keadaan geografis yang tidak memungkinkan. Oleh karenya pada abad selanjutnya
kopi disebarkan kedataran Eropa.
Dinilai
mempunyai provit yang cukup besar, Bangsa Eropa memutuskan unutk membawa kopi
ke Indonesia, selain karena Indonesia pada waktu menjadi wilayah imperialisme
besar-besaran oleh Bangsa Eropa terkhusus Belanda. Berawal dari sana kopi mulai
menyebar keseluruh Indonesia dengan ciri khas yang berbeda ditiap daerah karena
geografis yang berbeda pula menetukan kualitas kopi. Sampai sekarang banyak
varian dari produk olahan tanaman kopi di Indonesia, meski berasal dari jenis
kopi yang relatif sama, namun karena kondisi geografis Indonesia yang berbeda
ditiap wilayah menjadikan kopi ditiap daerah mempunyai ciri yang berbeda
begitupun pengelolaannya. Maka tak heran jika kita keliling Indonesia selalu
ada minuman kopi dengan variasi rasa yang berbeda.
Secara umum
masyarakat Indonesia terkhusus Jawa hanya mengenal dua jenis kopi, Arabica
dan Robusta, karena memang dua jenis kopi ini yang berkembang Indonesia
termasuk dipulau Jawa. Selain karena rasanya yang mempunyai ciri khas, juga
perawatannya tidak begitu susah pun tanaman kopi jenis ini suar terkena hama,
sehingga kedua jenis kopi ini sangat digandrungi oleh petani kopi di Indonesia
sedari dulu hingga saat ini. Namun, dewasa ini pengolahan tanaman kopi hingga
menjadi minuman kopi berkembang pesat seiring berkembangnya zaman, karenanya
banyak dari kedai kopi atau warung kopi menyuguhkan varian kopi modern,
biasanya dengan tambahan krimer atau susu kental manis juga dengan varian bahan
lain untuk membuat kopi yang nikmat juga sesuai dengan mood konsumen.
Varian kopi modern itu diantaranya adalah, Moccacino, Capucino, Late,
dan lain sebagainya. Varian itu merupakan bentuk inofasi dari pembuat kopi agar
kopi dapat dinikmati dari kalagan muda hingga kalngan tua, juga sebagai varian
rasa agar esensi kopi tidak terpaku dengan minuman berwarna hitam kelam yang
berasa pahit, namun juga varian rasa manis dan pahit yang berpadu juga
perpaduan krimer agar minuman agak terasa kental sehingga meningkatkan mood
dari penikmat kopi.
Jika pembaca
pernah meminum kopi khususnya kopi tradisional atau kopi serbuk yang biasa
dijual, pasti akan menyisakan ampas kopi. Dalam sudut pandang manapun, ampas
kopi tidak ada manfaatnya dan seharusnya dibuang dan diganti dengan kopi yang
baru. Namun dewasa ini ampas kopi dapat dijadikan sebagai masker wajah karena
kandungan kafein yang tersisa dalam ampas kopi dapat dijadikan sebagai media
untuk membuat wajah nampak lebih cerah dan bersinar.
Namun siapa
sangka, disamping sisi kesehatan itu, bagi sebagian orang ampas kopi dapat
dijadikan sebagai media lukis yang mempunyai nilai jual tinggi. Selain itu
dengan memanfaatkan ampas kopi juga melekatkan sistem sosial dimasyarakat.
Sehingga pandangan bahwa ampas adalah sesuatu yang kotor yang sepatutnya
dibuang, malah mendatangkan banyak manfaat baik secara personal maupun sosial.
Kabupaten yang
berada dibagian selatan pulau Jawa ini terkhusus Provinsi Jawa Timur ini
mempunyai cerita unik dibalik kreasi seni dari ampas kopi. Tulungagung, wilayah
yang masih termasuk dalam eks. Karesidenan Kadiri ini mempunyai budaya yang
tidak biasa yakni melukis dengan media ampas kopi. Ampas kopi yang identik
dengan sesuatu yang kotor dan tidak bermanfaat ternyata dapat dijadikan sebagai
sebuah media seni yang tidak kalah dalam esensinya maupun secara harganya.
Keunikan lain dari seni lukis ini adalah media lukis pengganti kanvas yakni
sebatang rokok. Aneh memang kedengarannya, tetapi akan sangat menarik juga
menantang bagi siapapun yang ingin mencobanya, karenanya seni ini bisa dibilang
susah, susah, gampang dan hanya orang yang mempunyai jiwa seni tinggi dan
ketelitian yang akan cepat mempelajarinya.
Orang-orang
Tulungagung menyebut kesenian ini dengan nama “cethe”. Ketika membahas
mengenai cethe yang terbesit pertama adalah rokok dan juga ampas kopi. Dua komoditas
ini memang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat
Tulungagung. Kegiatan nyethe identik dengan membatik atau melukis dengan menggunakan media ampas kopi
dan juga sebatang rokok, dengan bantuan kertas atau batang korek dan juga lidi
untuk melukis. Relativ ekonomis jika diukur dari harganya, tetapi kreasi seni
ini dapat mendulang hasil yang dapat memukau mata. Namun, tidak ada sumber
literasi yang jelas terkait dengan asal usul terkait dengan cethe. Jika mencari
digoogle yang ditemui adalah gambar rokok yang sedang dilukis dengan ampas
kopi, selain itu hanya ada beberapa bog atau website yang membahas tentang cethe
namun tentang validasi isi masih dipertanyakan, karena apa yang ditulis dalam
blog atau website itu hanya sebatas opini dari penulis serta berita yang
berasal dari mulut ke mulut yang kebenarannya masih dipertanyakan. Akan tetapi,
kesenian ini atau budaya ini asli dari Kabupaten Tulunggung, ini bisa
diklarifikasi kepada masyarakat Tulungagung sendiri. Dengan kata lain, meski
tidak ada bukti secara tetulis tentang asal usul cethe, namun bukti
secara lisan yang berkembang dimasyarakat menjadi bukti yang cukup kuat untuk
mengklain cethe merupakan kesenian yang berasal dari Kabupaten Tulungagung.
Sebelum
melangkah lebih jauh tentang cethe, penulis akan sedikit berbagi cerita terkait
asal usul cethe, meski cerita ini hanya sepintas cerita dari mulut ke mulut yang
penulis dengar dan cari di internet. Hampir semua masyarakat Tulungagung
sepakat bahwa muara dari kesenian lukis atau batik ini berasal dari kecematan
Kauman, tepatnya didesa Bolorejo. Terkait siapa orang pertama kali yang membuat batik masih
menjadi sebuah misteri karena dari sumber yang penulis terima tidak ada bukti
secara konkret terkait hal tersebut. Namun terdapat beberapa bukti yang dapat
digunkaan untuk mendalami kesenian yang satu ini, yakni dalam perkembangannya
cethe diperkenalkan oleh beberepa warung kopi disekitaran desa Bolorejo,
kecamatan Kauman, kabupaten Tulungagung, beberapa orang diwilayah itu setelah
seduhan kopi selesai disajikan bersama dengan lepek (tempat untuk mendinginkan
kopi, berbentuk piring tetapi berukuran kecil) menaruh kopi yang masih panas
kedalam lepek, sehingga endapan kopiberada dilepek, selanjutnya endapan itu
dikeringkan dengan menggunakan kertas atau dengan cara lain, agar endapan
sedikit kering sehingga membentuk yang namanya cethe.
Kebiasaan itu muncul karena aroma rokok bercampur bubuk kopi (baca: cethe)
yang terbakar beraroma sedap. Diawal kepopulerannya (penulis tidak tahu tahun
pastinya) cethe tidak bermotif, bubuk kopi itu hanya dioleskan atau dibalurkan
kebatang rokok sehingga batang rokok tertutupi oleh bubuk kopi tersebut. Bila
ada motif, itu pun hanya garis sederhana untuk sekedar memberikan nuansa seni
pada batang rokok terebut. Seiring perkembanannya kepopulerannya, motif yang
dilukis oleh seniman cethe mulai berkembang menjadi ornamen-ornamen indah yang
membuat orang sayang untuk menghisap rokok karena saking cantiknya motif cethe,
tetapi rokok tetaplah rokok, bagi pecinta cethe dan rokok tentu itu menjadi
sebuah kebanggaan tersendiri ketika karya yang dihasilkan dapat dirasakan
kenikmatannya.
Berawal dari kebiasan masyarakat itu, cethe menjadi trend center
tersendiri dikalangan masyarakat Tulungagung, bahkan jauh dari itu ketenaran
cethe sudah menyebar kewilayah disekitar Kabupaten Tulungagung. Ketenaran ini
selain dinilai adanya perkembangan dalam cethe selain itu adanya berbagai
kompetisi cethe, merebaknya warung kopi atau kedai kopi di Tulungagung menjadi
faktor yang membuat cethe teteap eksis bahkan lebih dikenal dan semakin di
gandrungi segala kalangan. Dilihat dari aspek psikologis, cethe yang mempunyai
tingkat kejelian dan kesabaran yang cukup tinggi dapat menstimulus personal
untuk lebih dapat mengkontrol dirinya. Begitu pun jika dilihat dari aspek
sosialnya, kedekatan antara pejual kopi dengan konsumen maupun antar konsumen
menjadi bukti konkret bahwa cethe mempuyai ilai sosial untuk menyatukan sistem
sosial masyarakat, sehingga tidak ada degradasi usia yang menjadikan semua
membaur untuk membuat karya cethe yang bagus. Selain itu interaksi yang terjadi
antar konsumen ini juga membuktikan bahwa adanya kedekatan baik secara psikis
maupun emosional sehingga membuat orang lebih bahagia, selain efek dari kafein
dari kopi dan juga nikotin dari rokok.
Namun ada sisi lain dari historitas cethe di Tulungagung, menurut dari
sumber yang penulis peroleh cethe ditemukan oleh seorang seniman batik dari
Tulungagung tepatnya di kecamatan Kauman (nama dan desa tidak begitu jelas). Ketika
itu beliau sedang membatik dengan ditemani rokok tentunya dan juga secangkir
kopi. Karena bosan melihat rokoknya hanya begitu saja, akhirnya dia mengolesi
rokok dengan malam batik, namun sewaktu dibakar tercium aroma yang sangat
menyengat dan kurang sedap. Akhirnya dia mencoba melihat ampas kopi dari sisa
kopinya. Beliau ambil sedikit lalu mengoleskan pada rokok dan sewaktu dibakar
aroma yang kelua lebih nikmat rasanya pun juga tambah enak. Dari cerita singkat
itu, cethe menjadi bahan obrolan dari mulut ke mulut hingga akhirnya penulis
sampaikan dan pembaca mengetahuinya. Tapi siapa sangka dibalik ketidakbergunaan
ampas kopi ini malah dapat menjadi kreasi seni yang bernilai tinggi.
Meskipun
terlihat mudah, namun kesenian yang satu ini tidak dapat di remehkan. Tingkat
kesulitannya, kejeliannya, sampai dengan ketebalan menentukan hasil akhir dari
proses cethe ini atau biasa disebut nyethe ini. Serbuk kopi yang
digunakan pun juga harus serbuk kopi yang benar-benar halus, jika tidak makan
tidak akan terbentuk yang namanya cethe. Masyarakat Tulungagung sendiri sering
menggunakan bubuk kopi dari kopi kemasan “Brontoseno” yang dinilai mempunyai
kadar kehalusan yang pas untuk dijadikan cethe. Karenya jika menggunakan kopi
tumbukan atau kopi serbuk hasil dari gilingan kurang cukup halus sehingga tidak
dapat diperoleh cethe. Beberapa kali penulis berusaha mencoba dan acapkali
gagal karena beberapa faktor, bisa karena kondisi cethe masih cukup basah,
sehingga putung rokok menjadi patah, atau beberapa kali penulis mencoba namun
hasilnya tidak sesuai dengan ekspetasi penulis.
Mungkin banyak
pembaca mengira, cethe hanya untuk seorang perokok aktif, namun nyatanya tidak
seperti itu. Banyak para pelukis cethe ini malah bukan perokok bahkan kaum hawa
pun tak jarang ikut berpartisipasi menjadi salah bagian dari seniman cethe Kabupaten
Tulungagung. Penulis sudah jelaskan diatas bahwa nyethe merupakan kegiatan yang
tidak dapat dipandang remeh, meski dengan memanfaatkan barang yang sepatutnya
dibuang, yakni ampas kopi namun dapat mencetak seni yang teraat cantik nan
unik. Layaknya membatik pada sebidang kain, cethe menerapkannya dalam bidang
yang lebih kecil dan jauh lebih sulit. Tetapi disitulah letak seninya dan
keunikannya. Orang akan dibuat teliti dan sabar dalam menyethe, jika kurang
sabar atau tidak sabar maka tinggal lumuri semua permukaan rokok dengan ampas
kopi atau cethe tadi. Namun jika mempunyai ketelitian dan kesabaran yang lebih
maka lukis putung rokok dengan berbagai ornamen sekreatif mungkin.
Dewasa ini
cethe tidak hanya berkembang di Tulungagung tetapi sudah mulai dikenal oleh
masyarakat luar Tulungagung. Hal ini karena keunikan yang meciptakan rasa
penasaran baik dalam hal pembuatannya maupun rasanya. Maka tak heran jika
pembaca berkunjung ke wilayah tetangga Tulunggaung (eks. Karesidenan Kadiri)
maka pembaca akan menemukan cethe, tetapi pertumbuhan cethe ini tidak sepesat
di Kabupaten Tulunggaung sendiri. Tak heran jika Kabupaten Tulungagung dijuluki
sebagai kota cethe, karena mayoritas masyarakat suka dengan kopi dan sering
melakukan nyethe. Hampir disetiap wilayah di Tulungagung mempunyai warung kopi
atau kedai kopi. Meskipun tergolong kecil, karena segmentasi pasar dari
warung-warung tersebut adalah kelas menengah kebawah, dan juga termasuk para
mahasiswa. Dengan memberikan fsilitas sekedarnya yakni menyediakan wi-fi dan
juga tempat yang relatif nyaman, warung-warung itu membuat konsumen menjadi
betah.
Satu lagi yang
unik dari cethe dan Kabupaten Tulungagung adalah kopi ijo (kopi hijau). Pembaca
jangan terkaget dahulu, ini bukan minuman berwarna hiaju mencolok lauaknya
minuman rasa-rasa sepertiitu, melainkan sepbuah produk inovasi yang mneyuguhkan
kopi kental dengan warna sedikit kehijauanjika diperhatikan secara seksama.
Warna hijau ini muncul karena efek bahan campurannya yakni kacang hijau. Ini
juga menjadi salah satu bahan cethe terbaik dari kabupaten Tulugagung, selain
dilihat dari warna kopi yang sedikit kehijauan, juga karena rasanya yang lebih
berat dibanding dengan kopi hitam pada umumnya. Produk ini pun meupakan inovasi
yang hanya dapat ditemukan di kabupaten Tulungagung. Meskipun hampir semua
warung di Tulungagung menyuguhakan kopi ijo tetapi pusat penyebaran kopi ijo
ini berasal dari wilayah yang sama dengan cethe, yakni desa Bolorejo, kecamatan
Kauman, kabupaten Tulungagung.
Warung yang
terkenal menjual kopi ijo ini adalah Waris. Selain menjual untuk konsumen
penikmat kopi, Waris juga melayani penjualan kopi ijo dalam bentuk kemasan,
maka tak heran jika kopi ijo dapat dijumpai disetiap wilayah di Tulungagung.
Penulis suda jelaskan diatas bahwa kopi ijo merupakan bahan terbaik untuk
membuat cethe, itu karena ampas atau endapan yang dihasilkan sedikit kental
dari kopi pada umumnya. Pun aromanya yang khas membuat kopi ini digandrungi
oleh masyarakat. Maka tak heran jika banyak pendatang, atau turis baik lokal
maupun interlokal yang penasaran akan rasa dari kopi ijo ini, juga ingin
merasakan nyethe dengan kopi ijo ini.
Kedua hal
tersebut, nyethe dan juga kopi ijo sudah diakui oleh pemerintah kabupaten
Tulungagung, sehingga tak heran jika banyak event terkait dua hal tersebut.
Beberapa bulan yang lalu pemerintah kabupaten Tulungagung mengadakan lomba
nyethe dan berbgai kopi gratis. Hal ini selain unutk melastarikan budaya nytehe
dan ngopi, juga dapat mnejadi ajang silahturahmi karena jika berkunjung dalam
event tersebut pasti akan berbondong-bondong dengan teman, saudara ata kolega,
bahkan kekasih , juga mungkin akan berjumpa dengan kawan lama sehingga dapat
sedikit bernostalgia sesembari menikmati kopi dan belajar nyethe.
Sekian celoteh tentag cethe ini saya buat, sekarang ambil secangkir kopi, nikmati kopinya dan silahkan nyethe jika penasran dengan rasanya.
-Semanis apapun kamu menikmati hidup pasti akan ada rasa pahit yang timbul, itulah esensi dari kopi, maka teguklah kopi mu karena itu mulai dingin-
BalasHapusTulisan keren kak,Kami dealer motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek. Lihat lihat motor bisa klik disini
Jual ayam geprek tulungagung
BalasHapusOrder makanan di tulungagung klik disini
BalasHapus