Senin, 30 Oktober 2017

CETHE : BUKAN SEKEDAR BATIK TAPI SENI CANTIK NAN UNIK


“Seni tidak hanya muncul dari guratan dan lekukan dari sebuah karya, tetapi bagaimana soul dan feel itu mengisi setiap guratan dan lekukan agar terlihat nyata dan hidup”
-Gallih Ari Fadli-
Tulungagung - Kopi merupakan minuman yang kental dengan nuansa sosial. Hal itu bisa dilihat kebenarannya dalam lingkup masyarakat Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai minuman yang nikmat disajikan dalam kondisi panas apalagi jika ditemani oleh beberapa makanan ringan atau juga beberepa batang rokok, bagi seorang perokok. Meski kopi bukan merupakan produk lokal Indonesia, namun buah yang yang satu ini menjadi komoditas utama bagi masyarakat Indonesia dewasa Indonesia. Bagi beberapa kalangan masyarakat, kopi merupakan menjadi sebuah kebutuhan hidup, selain manfaat kanfein yang terkandung didalamnya untuk mencegah kantuk, juga kopi ini bagus untuk meningkatkan semangat atau sekedar merelaksasi pikiran dari kesibukan yang sedang dialami.
Dewassa ini kedai atau warung kopi mulai menjamur diberbagai wilayah hampi seluruh Indonesia. Selain mempunyai provit yang cukup menjanjikan, karena biasanya orang-orang yang pergi ke kedai atau warung kopi tidak sendirian, melaikan bersama teman, kolega, atau bahkan kekasihnya. Biasanya banyak diantara mereka memilih kedai kopi sebagai tempat berkumpul karena tempatnya yang nyaman dan juga harga yang ditawarkan pun tidak terlalu merogoh kocek terlalu dalam. Sehingga baik kalangan ekonomi menengah keatas maupun kebawah dapat menikmatinya. Tapi banyak juga diantara kedai kopi tersebut yang menawarkan variasi kopi sehingga harganya pun juga relatif lebih mahal dari harga normal, dan biasanya didukung oleh berbagai vasilitas yang setimpal, mulai dari desain ruang, pemilihan perabot yang dipakai, sampai dengan live music atau berbagai pertujukan lain yang menarik minat konsumen.
Meskipun bukan merupakan produk lokal dari Indonesia, nyatanya dewasa ini Indonesia menjadi pengekspor kopi terbesar ke 3 didunia menurut website https://mlgcoffee.com/. Jika diurut kebelakang dari historisnya kopi ditemukan oleh orang-orang berkebangsaan Ethiopia dari Benua Afrika yang kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pengembala kambing. Kebiasaan mengolah tanaman kopi ini lalu didasari oleh temuan beberapa orang yang melihat kambing tidak terlelap meski matahari mulai tenggelam setelah memakan tanaman sejenis buah berry. Dikarenakan perasaan penasaran yang amat tinggi akhirnya mereka mengolahnya dengan mencampurnya dengan daging atau dikeringkan, sehingga pada awal penemuannya tanaman kopi menjadi makanan atau minuman berenergi. Tahun berikutnya kopi menyebar kedataran Arabia, diwilayah ini kopi juga digunakan sebagai penambah energi karena khasiatnya yang sangat banyak. Namun, pembudidayaan kopi ini tidak dapat dilakukan didataran Arabia dikarenakan keadaan geografis yang tidak memungkinkan. Oleh karenya pada abad selanjutnya kopi disebarkan kedataran Eropa.
Dinilai mempunyai provit yang cukup besar, Bangsa Eropa memutuskan unutk membawa kopi ke Indonesia, selain karena Indonesia pada waktu menjadi wilayah imperialisme besar-besaran oleh Bangsa Eropa terkhusus Belanda. Berawal dari sana kopi mulai menyebar keseluruh Indonesia dengan ciri khas yang berbeda ditiap daerah karena geografis yang berbeda pula menetukan kualitas kopi. Sampai sekarang banyak varian dari produk olahan tanaman kopi di Indonesia, meski berasal dari jenis kopi yang relatif sama, namun karena kondisi geografis Indonesia yang berbeda ditiap wilayah menjadikan kopi ditiap daerah mempunyai ciri yang berbeda begitupun pengelolaannya. Maka tak heran jika kita keliling Indonesia selalu ada minuman kopi dengan variasi rasa yang berbeda.
Secara umum masyarakat Indonesia terkhusus Jawa hanya mengenal dua jenis kopi, Arabica dan Robusta, karena memang dua jenis kopi ini yang berkembang Indonesia termasuk dipulau Jawa. Selain karena rasanya yang mempunyai ciri khas, juga perawatannya tidak begitu susah pun tanaman kopi jenis ini suar terkena hama, sehingga kedua jenis kopi ini sangat digandrungi oleh petani kopi di Indonesia sedari dulu hingga saat ini. Namun, dewasa ini pengolahan tanaman kopi hingga menjadi minuman kopi berkembang pesat seiring berkembangnya zaman, karenanya banyak dari kedai kopi atau warung kopi menyuguhkan varian kopi modern, biasanya dengan tambahan krimer atau susu kental manis juga dengan varian bahan lain untuk membuat kopi yang nikmat juga sesuai dengan mood konsumen. Varian kopi modern itu diantaranya adalah, Moccacino, Capucino, Late, dan lain sebagainya. Varian itu merupakan bentuk inofasi dari pembuat kopi agar kopi dapat dinikmati dari kalagan muda hingga kalngan tua, juga sebagai varian rasa agar esensi kopi tidak terpaku dengan minuman berwarna hitam kelam yang berasa pahit, namun juga varian rasa manis dan pahit yang berpadu juga perpaduan krimer agar minuman agak terasa kental sehingga meningkatkan mood dari penikmat kopi.
Jika pembaca pernah meminum kopi khususnya kopi tradisional atau kopi serbuk yang biasa dijual, pasti akan menyisakan ampas kopi. Dalam sudut pandang manapun, ampas kopi tidak ada manfaatnya dan seharusnya dibuang dan diganti dengan kopi yang baru. Namun dewasa ini ampas kopi dapat dijadikan sebagai masker wajah karena kandungan kafein yang tersisa dalam ampas kopi dapat dijadikan sebagai media untuk membuat wajah nampak lebih cerah dan bersinar.
Namun siapa sangka, disamping sisi kesehatan itu, bagi sebagian orang ampas kopi dapat dijadikan sebagai media lukis yang mempunyai nilai jual tinggi. Selain itu dengan memanfaatkan ampas kopi juga melekatkan sistem sosial dimasyarakat. Sehingga pandangan bahwa ampas adalah sesuatu yang kotor yang sepatutnya dibuang, malah mendatangkan banyak manfaat baik secara personal maupun sosial.
Kabupaten yang berada dibagian selatan pulau Jawa ini terkhusus Provinsi Jawa Timur ini mempunyai cerita unik dibalik kreasi seni dari ampas kopi. Tulungagung, wilayah yang masih termasuk dalam eks. Karesidenan Kadiri ini mempunyai budaya yang tidak biasa yakni melukis dengan media ampas kopi. Ampas kopi yang identik dengan sesuatu yang kotor dan tidak bermanfaat ternyata dapat dijadikan sebagai sebuah media seni yang tidak kalah dalam esensinya maupun secara harganya. Keunikan lain dari seni lukis ini adalah media lukis pengganti kanvas yakni sebatang rokok. Aneh memang kedengarannya, tetapi akan sangat menarik juga menantang bagi siapapun yang ingin mencobanya, karenanya seni ini bisa dibilang susah, susah, gampang dan hanya orang yang mempunyai jiwa seni tinggi dan ketelitian yang akan cepat mempelajarinya.
Orang-orang Tulungagung menyebut kesenian ini dengan nama “cethe”. Ketika membahas mengenai cethe yang terbesit pertama adalah rokok dan juga ampas kopi. Dua komoditas ini memang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat Tulungagung. Kegiatan nyethe identik dengan membatik atau  melukis dengan menggunakan media ampas kopi dan juga sebatang rokok, dengan bantuan kertas atau batang korek dan juga lidi untuk melukis. Relativ ekonomis jika diukur dari harganya, tetapi kreasi seni ini dapat mendulang hasil yang dapat memukau mata. Namun, tidak ada sumber literasi yang jelas terkait dengan asal usul terkait dengan cethe. Jika mencari digoogle yang ditemui adalah gambar rokok yang sedang dilukis dengan ampas kopi, selain itu hanya ada beberapa bog atau website yang membahas tentang cethe namun tentang validasi isi masih dipertanyakan, karena apa yang ditulis dalam blog atau website itu hanya sebatas opini dari penulis serta berita yang berasal dari mulut ke mulut yang kebenarannya masih dipertanyakan. Akan tetapi, kesenian ini atau budaya ini asli dari Kabupaten Tulunggung, ini bisa diklarifikasi kepada masyarakat Tulungagung sendiri. Dengan kata lain, meski tidak ada bukti secara tetulis tentang asal usul cethe, namun bukti secara lisan yang berkembang dimasyarakat menjadi bukti yang cukup kuat untuk mengklain cethe merupakan kesenian yang berasal dari Kabupaten Tulungagung.
Sebelum melangkah lebih jauh tentang cethe, penulis akan sedikit berbagi cerita terkait asal usul cethe, meski cerita ini hanya sepintas cerita dari mulut ke mulut yang penulis dengar dan cari di internet. Hampir semua masyarakat Tulungagung sepakat bahwa muara dari kesenian lukis atau batik ini berasal dari kecematan Kauman, tepatnya didesa Bolorejo. Terkait siapa orang pertama kali yang membuat batik masih menjadi sebuah misteri karena dari sumber yang penulis terima tidak ada bukti secara konkret terkait hal tersebut. Namun terdapat beberapa bukti yang dapat digunkaan untuk mendalami kesenian yang satu ini, yakni dalam perkembangannya cethe diperkenalkan oleh beberepa warung kopi disekitaran desa Bolorejo, kecamatan Kauman, kabupaten Tulungagung, beberapa orang diwilayah itu setelah seduhan kopi selesai disajikan bersama dengan lepek (tempat untuk mendinginkan kopi, berbentuk piring tetapi berukuran kecil) menaruh kopi yang masih panas kedalam lepek, sehingga endapan kopiberada dilepek, selanjutnya endapan itu dikeringkan dengan menggunakan kertas atau dengan cara lain, agar endapan sedikit kering sehingga membentuk yang namanya cethe.
Kebiasaan itu muncul karena aroma rokok bercampur bubuk kopi (baca: cethe) yang terbakar beraroma sedap. Diawal kepopulerannya (penulis tidak tahu tahun pastinya) cethe tidak bermotif, bubuk kopi itu hanya dioleskan atau dibalurkan kebatang rokok sehingga batang rokok tertutupi oleh bubuk kopi tersebut. Bila ada motif, itu pun hanya garis sederhana untuk sekedar memberikan nuansa seni pada batang rokok terebut. Seiring perkembanannya kepopulerannya, motif yang dilukis oleh seniman cethe mulai berkembang menjadi ornamen-ornamen indah yang membuat orang sayang untuk menghisap rokok karena saking cantiknya motif cethe, tetapi rokok tetaplah rokok, bagi pecinta cethe dan rokok tentu itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika karya yang dihasilkan dapat dirasakan kenikmatannya.
Berawal dari kebiasan masyarakat itu, cethe menjadi trend center tersendiri dikalangan masyarakat Tulungagung, bahkan jauh dari itu ketenaran cethe sudah menyebar kewilayah disekitar Kabupaten Tulungagung. Ketenaran ini selain dinilai adanya perkembangan dalam cethe selain itu adanya berbagai kompetisi cethe, merebaknya warung kopi atau kedai kopi di Tulungagung menjadi faktor yang membuat cethe teteap eksis bahkan lebih dikenal dan semakin di gandrungi segala kalangan. Dilihat dari aspek psikologis, cethe yang mempunyai tingkat kejelian dan kesabaran yang cukup tinggi dapat menstimulus personal untuk lebih dapat mengkontrol dirinya. Begitu pun jika dilihat dari aspek sosialnya, kedekatan antara pejual kopi dengan konsumen maupun antar konsumen menjadi bukti konkret bahwa cethe mempuyai ilai sosial untuk menyatukan sistem sosial masyarakat, sehingga tidak ada degradasi usia yang menjadikan semua membaur untuk membuat karya cethe yang bagus. Selain itu interaksi yang terjadi antar konsumen ini juga membuktikan bahwa adanya kedekatan baik secara psikis maupun emosional sehingga membuat orang lebih bahagia, selain efek dari kafein dari kopi dan juga nikotin dari rokok.  
Namun ada sisi lain dari historitas cethe di Tulungagung, menurut dari sumber yang penulis peroleh cethe ditemukan oleh seorang seniman batik dari Tulungagung tepatnya di kecamatan Kauman (nama dan desa tidak begitu jelas). Ketika itu beliau sedang membatik dengan ditemani rokok tentunya dan juga secangkir kopi. Karena bosan melihat rokoknya hanya begitu saja, akhirnya dia mengolesi rokok dengan malam batik, namun sewaktu dibakar tercium aroma yang sangat menyengat dan kurang sedap. Akhirnya dia mencoba melihat ampas kopi dari sisa kopinya. Beliau ambil sedikit lalu mengoleskan pada rokok dan sewaktu dibakar aroma yang kelua lebih nikmat rasanya pun juga tambah enak. Dari cerita singkat itu, cethe menjadi bahan obrolan dari mulut ke mulut hingga akhirnya penulis sampaikan dan pembaca mengetahuinya. Tapi siapa sangka dibalik ketidakbergunaan ampas kopi ini malah dapat menjadi kreasi seni yang bernilai tinggi.
Meskipun terlihat mudah, namun kesenian yang satu ini tidak dapat di remehkan. Tingkat kesulitannya, kejeliannya, sampai dengan ketebalan menentukan hasil akhir dari proses cethe ini atau biasa disebut nyethe ini. Serbuk kopi yang digunakan pun juga harus serbuk kopi yang benar-benar halus, jika tidak makan tidak akan terbentuk yang namanya cethe. Masyarakat Tulungagung sendiri sering menggunakan bubuk kopi dari kopi kemasan “Brontoseno” yang dinilai mempunyai kadar kehalusan yang pas untuk dijadikan cethe. Karenya jika menggunakan kopi tumbukan atau kopi serbuk hasil dari gilingan kurang cukup halus sehingga tidak dapat diperoleh cethe. Beberapa kali penulis berusaha mencoba dan acapkali gagal karena beberapa faktor, bisa karena kondisi cethe masih cukup basah, sehingga putung rokok menjadi patah, atau beberapa kali penulis mencoba namun hasilnya tidak sesuai dengan ekspetasi penulis.
Mungkin banyak pembaca mengira, cethe hanya untuk seorang perokok aktif, namun nyatanya tidak seperti itu. Banyak para pelukis cethe ini malah bukan perokok bahkan kaum hawa pun tak jarang ikut berpartisipasi menjadi salah bagian dari seniman cethe Kabupaten Tulungagung. Penulis sudah jelaskan diatas bahwa nyethe merupakan kegiatan yang tidak dapat dipandang remeh, meski dengan memanfaatkan barang yang sepatutnya dibuang, yakni ampas kopi namun dapat mencetak seni yang teraat cantik nan unik. Layaknya membatik pada sebidang kain, cethe menerapkannya dalam bidang yang lebih kecil dan jauh lebih sulit. Tetapi disitulah letak seninya dan keunikannya. Orang akan dibuat teliti dan sabar dalam menyethe, jika kurang sabar atau tidak sabar maka tinggal lumuri semua permukaan rokok dengan ampas kopi atau cethe tadi. Namun jika mempunyai ketelitian dan kesabaran yang lebih maka lukis putung rokok dengan berbagai ornamen sekreatif mungkin.
Dewasa ini cethe tidak hanya berkembang di Tulungagung tetapi sudah mulai dikenal oleh masyarakat luar Tulungagung. Hal ini karena keunikan yang meciptakan rasa penasaran baik dalam hal pembuatannya maupun rasanya. Maka tak heran jika pembaca berkunjung ke wilayah tetangga Tulunggaung (eks. Karesidenan Kadiri) maka pembaca akan menemukan cethe, tetapi pertumbuhan cethe ini tidak sepesat di Kabupaten Tulunggaung sendiri. Tak heran jika Kabupaten Tulungagung dijuluki sebagai kota cethe, karena mayoritas masyarakat suka dengan kopi dan sering melakukan nyethe. Hampir disetiap wilayah di Tulungagung mempunyai warung kopi atau kedai kopi. Meskipun tergolong kecil, karena segmentasi pasar dari warung-warung tersebut adalah kelas menengah kebawah, dan juga termasuk para mahasiswa. Dengan memberikan fsilitas sekedarnya yakni menyediakan wi-fi dan juga tempat yang relatif nyaman, warung-warung itu membuat konsumen menjadi betah.
Satu lagi yang unik dari cethe dan Kabupaten Tulungagung adalah kopi ijo (kopi hijau). Pembaca jangan terkaget dahulu, ini bukan minuman berwarna hiaju mencolok lauaknya minuman rasa-rasa sepertiitu, melainkan sepbuah produk inovasi yang mneyuguhkan kopi kental dengan warna sedikit kehijauanjika diperhatikan secara seksama. Warna hijau ini muncul karena efek bahan campurannya yakni kacang hijau. Ini juga menjadi salah satu bahan cethe terbaik dari kabupaten Tulugagung, selain dilihat dari warna kopi yang sedikit kehijauan, juga karena rasanya yang lebih berat dibanding dengan kopi hitam pada umumnya. Produk ini pun meupakan inovasi yang hanya dapat ditemukan di kabupaten Tulungagung. Meskipun hampir semua warung di Tulungagung menyuguhakan kopi ijo tetapi pusat penyebaran kopi ijo ini berasal dari wilayah yang sama dengan cethe, yakni desa Bolorejo, kecamatan Kauman, kabupaten Tulungagung.
Warung yang terkenal menjual kopi ijo ini adalah Waris. Selain menjual untuk konsumen penikmat kopi, Waris juga melayani penjualan kopi ijo dalam bentuk kemasan, maka tak heran jika kopi ijo dapat dijumpai disetiap wilayah di Tulungagung. Penulis suda jelaskan diatas bahwa kopi ijo merupakan bahan terbaik untuk membuat cethe, itu karena ampas atau endapan yang dihasilkan sedikit kental dari kopi pada umumnya. Pun aromanya yang khas membuat kopi ini digandrungi oleh masyarakat. Maka tak heran jika banyak pendatang, atau turis baik lokal maupun interlokal yang penasaran akan rasa dari kopi ijo ini, juga ingin merasakan nyethe dengan kopi ijo ini.
Kedua hal tersebut, nyethe dan juga kopi ijo sudah diakui oleh pemerintah kabupaten Tulungagung, sehingga tak heran jika banyak event terkait dua hal tersebut. Beberapa bulan yang lalu pemerintah kabupaten Tulungagung mengadakan lomba nyethe dan berbgai kopi gratis. Hal ini selain unutk melastarikan budaya nytehe dan ngopi, juga dapat mnejadi ajang silahturahmi karena jika berkunjung dalam event tersebut pasti akan berbondong-bondong dengan teman, saudara ata kolega, bahkan kekasih , juga mungkin akan berjumpa dengan kawan lama sehingga dapat sedikit bernostalgia sesembari menikmati kopi dan belajar nyethe.
Sekian celoteh tentag cethe ini saya buat, sekarang ambil secangkir kopi, nikmati kopinya dan silahkan nyethe jika penasran dengan rasanya. 
-Semanis apapun kamu menikmati hidup pasti akan ada rasa pahit yang timbul, itulah esensi dari kopi, maka teguklah kopi mu karena itu mulai dingin-






3 komentar: