Senin, 30 Oktober 2017

SEORANG PETANI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DARI MENYADAP POHON KARET

Seorang Petani Mencari Nafkah Untuk Keluarga Dari Menyadap Pohon Karet
Oleh: Choirul Wijayanto
17304153023
Description: C:\Users\netbook\Pictures\poto.jpg
Pak Hamidi setiap pagi bekerja di kebun karetnya mengumpulkan getah karet

Pohon karet  merupakan salah satu kekayaan alam yang terhampar luas di tanah air bagi sebagian masyarakat di Desa Tirta Mulya Kecamatan Makarti Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Palembang. Pepohonan karet sudah seperti curahan rejeki, baik untuk sang pemilik maupun sekedar buruhnya. Begitu pula dengan Hamidi, pria berusia 42 tahun yang menggantungkan hidup keluarganya dari pohon karet. Meski memiliki kebun karetnya sendiri kehidupan Hamidi tidaklah seberuntung pemilik kebun karet lainnya.
Setiap hari Hamidi berjalan sejauh dua kilometer untuk mencapai kebun karetnya  bersama sang anak bernama Junaidi, ia selalu berharap kebun karetnya menghasilkan getah yang cukup untuk dijual. Kebun karetnya memang tidak luas dan juga banyak ditumbuhi tanaman belukar yang menganggu pekerjaannya menyadap getah karet. Pohon karet miliknya itu ditumbuhi oleh pepohonan yang tua pula sehingga getah yang dihasilkan hanya sedikit saja.
Kondisi tubuhnya yang didera penyakit inilah yang membuat Hamidi tidak dapat merawat kebun yang ia miliki. Penyakit asam urat yang ia derita terasa semakin parah dan membuatnya sulit bergerak utamanya ketika dalam kondisi yang sangat lelah. Pohon karet biasanya dapat menghasilkan getah hingga pohon itu berusia 25 tahun, bahkan usia produktif itu bisa semakin lama jika dirawat dengan baik. Hal tersebut disadari olehnya, namun kondisi ekonomi yang mepet membuatnya tidak mampu membeli sekedar pupuk bagi penyubur kebun karetnya.“Untuk membeli pupuk itu saya tidak mampu karena penghasilan saya kurang jadi dibiarkan, Allah yang mengasih rejeki sebanyak apa yang dikasihNya saya terima” ucap Hamidi.
Hanya sebuah parang berukuran sedang yang dibutuhkan Hamidi untuk bekerja yang digunakan untuk membuat dan membentuk wadah jatuhan getah dari bambu. Semakin besar batang bambu yang ia gunakan maka akan semakin banyak pula getah yang ia dapatkan. Namun, tentu ia harus berhati-hati karena bisa saja serat bambu yang tajam melukai tangannya. Seharusnya untuk menghasilkan banyak getah karet pohon-pohon harus diisi dengan wadah jatuhan. Namun, amat disayangkan sekali ia tidak sanggup memasang wadah jatuhan setiap pohon yang ia miliki. Hal ini dikarenakan tubuhnya tidak boleh terlalu lelah karena penyakit yang ia derita dapat membuat tubuhnya gemetaran.
Sebelum wadah jatuhan dipasang, Hamidi harus menyayat kulit pohon karet, ia juga harus jeli mencari pohon karet yang masih produktif karena pohon karet miliknya rata-rata sudah berusia tua. Setelah semua wadah jatuhan terpasang, Hamidi hanya bisa berharap banyak getah yang mengucur dari pohonnya. Dalam hal menyadap karet, kondisi cuaca turut pula mempengaruhi hasil sadapan karet. Hujan merupakan musuh terbesar baginya, jika hujan datang getah karet akan tumpah pada jalur sayatan yang sudah dibuat.
Hujan juga bisa merusak zat-zat karet sehingga tidak dapat digunakan. Biasanya Hamidi bisa mengumpulkan 20 kilogram dalam dua minggu, namun hal ini jarang terjadi  karena banyak pohon karetnya yang tak lagi produktif. “Kalau keseluruhan dua minggu itu, itu dua puluh kilogram karena getah ini pasang surut istilahnya, kadang kering kadang banyak isinya apalagi musim kemarau ini kurang getahnya, kalau musim penghujan nyampai dua puluh” kata bapak dengan tiga orang anak ini.
Tidak hanya cuaca saja yang menjadi hambatan, binatang buas pun kerap menjadi ancaman saat Hamidi sedang bekerja. Di kebun tak terawat itu, selain ular babi hutan pun sering ditemui Hamidi. Binatang Bergigi tajam ini bisa saja sewaktu-waktu menyerang dirinya. “Ya mana bisa takut, pasrah saja sama yang kuasa apa boleh buat kalau misalnya digigit saya pasrah kan sajalah” ucap Hamidi penuh dengan kepasrahan.
Sebagai petani karet yang modalnya pas-pasan seringkali benaknya dipenuhi tanya bagaimana kelak nasib istri dan anaknya bila kebun ini tidak lagi menghasilkan getah. Hasil getah karet yang ia kumpulkan hanya sepuluh kilogram saja itupun dalam kondisi yang kotor. Kebersihan karet sangatlah penting karena harga karet akan jatuh apabila telah kotor oleh tanah.
Hamidi hanya dapat menaruh harapan kepada para pengepul untuk membeli getah karetnya sebagai hasil kerja keras dalam menyadap pepohonan karet miliknya tersebut.  Sayang, karena kondisi getahnya yang telah kotor banyak pengepul yang menolak balamnya. Hal seperti ini bukanlah sekali dua kali terjadi, seringkali bahkan ia tidak ada uang sedikitpun untuk memberi makan istri dan ketiga anaknya. Beruntung terkadang ada juga  yang bersedia menerima balam kotor miliknya namun terjual hanya seharga sepuluh ribu per kilogram. Keadaan ini tentu berbeda ketika balam yang ada dalam kondisi yang bersih. Balam yang bersih dapat terjual seharga tujuh belas ribu per kilogramnya.
Meski terjual murah paling tidak Hamidi mendapatkan sedikit uang untuk menghidupi keluarganya selama dua minggu ke depan. Seringkali uang perolehannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, Hamidi tidak mau bergantung dari getah karet saja karena ia tahu penghasilan dari menyadap karet tidaklah bersifat tetap. Seringkali ia terpaksa pergi memancing untuk sekedar mencari lauk tambahan jika ikan yang diperoleh banyak ia akan menjualnya. “Mancing itu sebenarnya kadang-kadang untuk dijual kadang itu dapat satu kilo setengah kilo dijual sama orang-orang paling dapat dua ribu lima ratus” ujar penyadap karet asal Palembang ini.
Penghasilan Hamidi dari menyadap getah karet memang tak banyak, harga karet yang sedang melambungpun seakan tak ada artinya lantaran jumlah getah yang ia kumpulkan seringkali tak banyak akibat pohon miliknya sudah tua dan tidak produktif. Untuk menghemat pengeluaran ia selalu menunggu bekal dari sang istri. Masakan dari rumah inilah yang akan mengganjal perut laparnya terlebih saat menjalankan puasa seharian, seringkali karena bekerja hingga senja datang, Hamidi menyantap bekal buatan sang istri tercinta saat maghrib tiba.
Menyadap karet bukan pekerjaan yang ringan bagi wanita, Juariah sang istri seringkali menggantikan Hamidi menyadap karet karena paham dengan kondisi sang suami yang sering sakit-sakitan bila terlalu lelah, karena ia khawatir Hamidi yang sering sakit-sakitan bila terlalu lelah, penyakit yang didera suaminya tersebut akan kambuh lagi.
Penyakit gemetaran yang diidap Hamidi ini ia derita sejak kecil entah sebab apa setiap kali badannya terlalu lelah bekerja berat ia akan gemetaran dan lemas. “Ya saya suka sekali kalau membantu kalau tidak dibantu ya bapak itu sering sakit-sakitan, ya kalau orang sakit kan pekerjaan tidak bisa selesai” ujar istri penyadap karet di Desa Tirta Mulya ini.
Rumah panggung sederhana milik Hamidi ini hanya mengandalkan sinar matahari sebagai penerangan saat pagi hingga petang hari. Sinar mentari tersebut sangatlah berharga bagi Junaidi karena di rumahnya tak ada penerangan listrik yang cukup, bahkan seringkali ia mengerjakan tugas sekolahnya di kebun karet bersama sang ayah.
Keadaan sulit yang dihadapi sang ayah seakan dipahami oleh Junaidi. Seringkali ia ingin membantu orangtuanya menyadap karet, namun karena masih berusia sepuluh tahun ia hanya bisa menemani ayahnya bekerja. Junaidi tau ia punya tugas penting di dalam keluarganya yakni belajar. Junaidi termasuk anak berprestasi di sekolah ia selalu mendapatkan peringkat sepuluh besar di kelasnya.
Hidup serba susah yang dialami saat ini tak membuat bocah kecil ini tertekan, ia ingin mencapai cita-citanya yang tinggi. “Jun ingin sekolah yang tinggi, Jun kalau besar mau menjadi dokter biar duitnya banyak, Jun enggak susah lagi kaya sekarang” ujar Junaidi. Di rumah panggung khas Palembang inilah Hamidi tinggal bersama istri dan ketiga anaknya.

Rumah yang sudah mulai rapuh ini didiami selain oleh Hamidi beserta istri dan ketiga anaknya juga menampung Ibunda dari Hamidi yang bernama Zoimah, wanita berusia tujuh puluh empat tahun yang juga terkadang jatuh sakit. “Pernah bapak sakit mau berobat tidak ada uang, mertua sakit mau berobat tidak ada uang, mau beli beras tidak ada uang, mau cari sana sini enggak dapat pinjaman” ungkap istri Hamidi. Setitik harapan keluarga ini semoga si sulung Junaidi bisa menjalankan hidupnya dengan lebih baik agar suatu hari nanti bisa mewujudkan cita-citanya dengan segala kondisi yang terbatas.

3 komentar: