Senin, 30 Oktober 2017

Semangat Yang Tak Pernah Pudar Dari Pundak Seorang Ayah


Gambar diambil saat Pak Katiran melayani pembeli




Sebelum berjualan pentol, pria yang berumur sudah setengah abad ini,
jualan bakso dengan berkeliling dari rumah ke rumah dari sekolah satu hingga sekolah yang lain pada tahun 1989. Lalu pada tahun 2005 ia beralih menjadi penjual pentol. Alasannya beralih menjadi penjual pentol, karena pentol lebih simple dan lebih mudah pembuatannya daripada bakso dan tak perlu mencuci mangkuk, sebab kalau pentol dibungkus dengan plastik, dan rata-rata orang menyukai pentol, apalagi anak muda, seperti mahasiswa atau mahasiswi IAIN Tulungagung. Ia mulai berjualan pada pukul 10 pagi hingga sore menjelang magrib sekitar pukul 5 sore, atau sampai habisnya pentol. Jika sampai pukul 5 sore pentol masih belum juga habis, ia akan membonusi pentol pada pembeli, supaya cepat habis.
Terlihat bapak-bapak tua, dengan kulit hitam keriput memakai topi ala anak muda, sedang sibuk melayani pelanggannya. Tak jarang ia tertawa karena obrolan dengan pelanggannya, dengan tawanya terlihat jelas gigi bapak tua itu yang masih utuh. Ia adalah bapak Katiran, seorang pedagang pentol yang lebih di kenal dengan sebutan “Pak pentol” adalah seorang pedagang kaki lima di sekitar lingkungan kampus IAIN Tulungagung. Wajahnya selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Senyum ramah dan wajah riang selalu diperlihatkan kepada semua orang. Tidak hanya pada mahasiswa yang ada disana tapi juga pada anak-anak. Dia pandai bergurau dengan orang banyak. Itu yang membuat banyak yang suka padanya. Dalam pergaulan dengan para pelanggannya dia pun akrab. Tak pernah dia meminta belaskasihan kepada orang lain. Hari-harinya dia jalani dengan penuh semangat. Tak pernah dia mengeluh apalagi berputus asa. Dia selalu menjalankan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh, untuk menghidupi keluarga kecilnya.
Sebelum berjualan pentol, pria yang berumur sudah setengah abad ini, jualan bakso dengan berkeliling dari rumah ke rumah dari sekolah satu hingga sekolah yang lain pada tahun 1989. Lalu pada tahun 2005 ia beralih menjadi penjual pentol. Alasannya beralih menjadi penjual pentol, karena pentol lebih simple dan lebih mudah pembuatannya daripada bakso dan tak perlu mencuci mangkuk, sebab kalau pentol dibungkus dengan plastik, dan rata-rata orang menyukai pentol, apalagi anak muda, seperti mahasiswa atau mahasiswi IAIN Tulungagung. Ia mulai berjualan pada pukul 10 pagi hingga sore menjelang magrib sekitar pukul 5 sore, atau sampai habisnya pentol. Jika sampai pukul 5 sore pentol masih belum juga habis, ia akan membonusi pentol pada pembeli, supaya cepat habis.
Dengan tubuh rentanya, ia memindahkan gerobak dagangannya ke pinggir jalan, sembari menunggu pelanggannya. Pria yang mengaku dulu jualan bakso dengan keliling, memilih lokasi jualannya di kampus, karena ramai banyak sekali orang yang keluar masuk kampus, dan mahasiswanya sudah sampai ribuan orang. Banyak mahasiwa dan mahasiswi di kampus IAIN Tulungagung meminati pentol dari Pak Katiran ini. Sebab, pria yang sudah memiliki 4 anak ini, menggunakan saus sambal kacang sebagai saus pentolnya, dan ini menjadi ciri khas dari pentol bapak ini, daripada penjual pentol lain, yang ada di sekitar kampus IAIN Tulungagung. Satu bungkus pentol berharga Rp 3.000 sampai Rp 10.000. Tergantung dari setiap keinginan para pembeli setiap satu porsi pentol. Sehingga pembelian tidak di batasi oleh harga per porsi pentol tersebut.
Pria asli Tulungagung yang beralamat di Plosokandang ini, hanya bekerja sebagai penjual pentol, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain ini. Dengan dibantu sang isteri, yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Pembuatan pentol ini dari sore hari atau sepulang ia bekerja hingga malam malam hari sampai sekiranya sudah cukup memenuhi untuk dijual pada esok harinya, dengan bahan campurannya adalah daging sapi dan ada yang dari tahu goreng, serta kulit pangsit.
Dalam setiap harinya penjualan pentol ini memiliki hasil yang menentu. Dengan modal awal kurang lebih Rp 600.000, penghasilan perhari belum bisa dibilang standar, hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan ia masih bisa menyekolahkan anak-anaknya, hingga lulus SMA. Ia selalu semangat dalam bekerja. Ia tak pernah sekalipun mengeluh pada keluarga. Selalu menunjukkan wajah yang berseri-seri seperti tidak ada beban yang sedang ia tanggung. Tak mengenal hujan, atau bahkan di saat sakit pun ia akan berusaha bekerja semaksimal mungkin selama ia bisa melakukannya. Istrinya yang setiap hari begitu mengandalkan penghasilan suaminya tersebut selalu memberikan dukungan yang maksimal baginya. Dengan anak pertama yang sudah lulus SMA dan saat ini sudah bekerja, mengurangi beban Bapak Katiran yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya.
Dalam setiap pekerjaan pasti memiliki kendala atau masalah dalam pekerjannya. Pak Katiran  sebagai penjual pentol di Kampus IAIN Tulungagung sering kali memiliki kendala yang sering kali terjadi. Kendala yang sering terjadi adalah karena ban gerobaknya yang bocor, pengaruh cuaca yang buruk akibat hujan, dan sering kali pembeli-pembeli yang cerewet. Jika ada yang belum bayar saat membeli pentol, ia hanya bisa mengikhlaskannya, kalau masih rezeki pasti kembali kalau sudah tidak dibiarkan saja.  
Kebaikan hati Bapak Katiran ini, membuat banyak pelanggan menyukainya. Tak heran sampai ia menjadi tempat curhat bagi pelanggan yang sedang membeli pentolnya. Ia juga memiliki banyak kenalan baik orang dari dalam kampus IAIN Tulungagung maupun luar kampus. Bapak Kairan ini memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Ini bisa dilihat saat ia sering membantu orang yang sedang sulit untuk menyebrang yang saat itu jalanan sedang ramai dan satpam sedang tidak ada. Semua yang dilakukan atas dasar ikhlas akan memiliki manfaat bagi orang lain.
Teriknya panas matahari dzuhur yang menyengat kulit tidak lagi pernah dirasakan dan tak menyurutkan semangatnya untuk mencari nafkah bagi keluarganya di rumah. Setiap harinya hanya terlihat sisa-sisa rasa lelah yang tergambar di raut wajah keriputnya untuk melangkah satu demi satu jalannya roda kehidupan. Ayah empat anak ini masih saja bisa bersyukur dengan kehidupannya yang sangat minim.
Hidup merupakan sebuah tantangan bagi siapa yang menjalaninya. Tak kenal lelah, putus asa, dan terus maju. Ia tak pernah malu dengan apa yang dikerjakannya. Ia tetap ramah tamah kepada semua orang dan tak pernah membalas keburukan orang dengan keburukan pula. Ia malah membalasnya dengan kebajikan. Senyum ramah selalu terpancar dari  wajah bapak yang bertempat tinggal tak jauh dari tempat atau lokasi dia memarkirkan gerobak pentolnya. Kegigihan dan rasa semangat untuk tetap menjadi kepala keluarga yang bisa menafkahi keluarganya patut dijadikan  cermin motivasi khususnya bagi para pembaca.
Bapak Katiran ini merupakan salah satu dari sekian sosok pria yang gigih dalam melakukan pekerjaannya sebagai penjual pentol keliling. Namun, apakah perjuangan Bapak Katiran ini mampu membawanya pada kebahagiaan yang diharapkan sebagai sosok seorang ayah?
Oleh: Qumi Mar’atus Sholiha

3 komentar: