Source: Dok Pribadi |
Apakah yang ada di benak seseorang ketika mulai
beranjak dewasa dengan meninggalkan kampung halaman yang dicintai? Apakah untuk
mencari kehidupan yang lebih baik? Untuk
mencari pengalaman hidup? Atau adakah tujuan lainnya? Tujuan, maksud dan
keinginan seseorang memang berbeda-beda dan tidak selalu sama. Perjalanan hidup
menjadi dewasa merupakan hal yang pasti dilalui oleh setiap manusia yang ada di
dunia. Perjalanannya sendiri juga pasti dilalui dengan berbagai macam cara.
Baik dengan cara yang mudah maupun sulit. Perjalanan yang sulit dalam hidup
tentunya akan dijumpai oleh setiap manusia. Akan seperti apa kehidupan
seseorang selanjutnya, hasilnya tentu akan di dapat dari seberapa cerdas dan
bersyukurnya manusia terhadap apa yang Tuhan beri kepada mahluk ciptaanya,
yakni kita sebagai manusia yang juga sebagai mahluk paling sempurna yang pernah
Allah ciptakan.
Hiruk pikuk aktivitas masyarakat setiap hari di
jalan penghubung antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri di bulan November
ini sangat terasa. Santri-santri berseragam yang berangkat dan pulang dari
pondok pesantren, orang-orang yang datang dan pergi dari pasar entah berbelanja
atau sekedar menjual sayuran hasil panen, anak-anak sekolah yang berangkat setiap
pagi dan pulang di siang harinya, sudah menjadi keseharian serta rutinitas yang
terus dilakukan bagi sebagian masyarakat di Kecamatan Udanawu, Kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Di malam hari, udara dingin yang menyelimuti menjadi
suasana yang tidak pernah didapat dari tempat lain, Sayup-sayup terdengar suara
para santri mengaji. Sholawat pun tidak jarang terdengar, suara riuh kendaraan
yang lewat di sepanjang jalan seolah menjadi pelengkap malam bagi para pedagang
kaki lima yang ada di sekitar. Gelak tawa para pengunjung kios-kios dan warung
serta kedai-kedai pun turut melengkapi perjalanan sang malam.
Udanawu, Kabupaten Blitar, daerah tempat
tinggalnya saat ini memang tidak sepi seperti pertama kali ia membuka usaha
lima tahun lalu. Berbagai macam kedai, kios dan warung makanan yang menjual
beraneka ragam makanan dan minuman mulai bermunculan saat ini. Mulai dari
minuman ringan hingga makanan berat, mulai dari kios-kios franchise atau kios-kios waralaba yang berderet di kanan kiri
jalan, kedai-kedai kopi, warung-warung pedagang kaki lima, hingga mini market banyak berdiri di sepanjang
sisi jalan. Setelah ia memulai usaha pada tahun 2012 lalu, banyak yang mulai tertarik
untuk membangun usaha disana karena mengetahui respon dari konsumen yang ada
tidak terlalu buruk. Beberapa orang tertarik untuk turut memiliki bisnis di
sana, terutama usaha di bidang kuliner. Namun ternyata, para calon pengusaha-pengusaha kuliner yang baru berdiri
disana beberapa diantaranya justru adalah anak muda yang sering nongkrong di angkringan dan warung makan
milik salah satu seorang perantau asal Banyuwangi, Moh. Ali Syaifulloh atau
yang biasa dipanggil Ali.
ANGKRINGAN
KPK DAN LELE SEMAPUT
Ali, begitu ia disapa sehari-hari oleh para
kerabatnya, dikenal sebagai pedagang yang ramah dan mudah berbaur dengan siapa
saja, ia adalah pemilik Angkringan KPK dan Warung makan Lele Semaput yang
beralamatkan di Jalan Lintas antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri,
tepatnya di depan pintu gerbang pondok pesantren yang dikenal sebagai pondok
Mantenan. Pria kelahiran tahun Mei 1969 ini adalah seorang perantau yang lahir
dan tumbuh besar di Banyuwangi, yang juga berasal dari Banyuwangi. Ia baru
pindah ke Udanawu, Blitar tempatnya ia tinggal kini pada bulan Febuari 2012 dan
memulai usaha yang saat ini dijalaninya pada Oktober 2012. Usaha yang
digelutinya kini pada awal berdiri tentunya sangat berbeda dengan yang ada saat
ini. Dari segi suasana maupun tempat yang digunakan untuk berjualan berbeda
dari lima tahun yang lalu, saat ia pertama kali membabat lahan untuk memulai
usaha di bidang kuliner yang saat ini menjadi sumber rezeki bagi keluarganya. Tentu, sangat sangat berbeda.
Usaha yang didirikannya pada masa-masa awal mendirikan
dulu, konsep yang dimilikinya adalah untuk membuat angkringan seperti di Jogja,
mengingat ia penah menjalani hidup selama dua tahun di Jogja, namun konsep
angkringan yang sama seperti dimiliki di Joja apabila di terapkan di Udanawu,
dirasa belum cukup dan pas. Perbedaan kebiasaan masyarakat sekitar serta
perbedaan golongan masyarakat dirasa kurang tepat jika disandingkan dengan
model angkringan yang murni sama seperti pada aslinya. Masyarakat Udanawu
sebagian besar adalah para petani yang tidak mengetahui apa itu angkringan
karena memang konsep angkringan berasal dari Jawa Tengah. Mengetahui kurang
cocok dengan konsep yang seperti itu, ia tidak kehabisan akal, di tahun
selanjutnya ia menambah menu yang ada dan berpindah lokasi ke tempat yang
sedikit lebih luas dari tempat sebelumnya dan tempat tersebut masih ditempati
hingga saat ini. Menu baru yang di usung adalah pecel lele yang diberi nama
lele semaput. Karenanya, angkringan yang dimilikinya juga di beri nama lele
semaput.
Keberadaan lele semaput sebagai menu baru
ternyata di sambut baik oleh para konsumen. Mengingat warung makan Lele Semaput
merupakan warung pecel lele pertama di sekitar kawasan Udanawu Blitar. Lele
semaput menjadi favorit bagi sebagian pembeli, kebanyakan pembeli mengatakan
apabila mereka penasaran dengan apa yang disebut dengan lele semaput. Sebenarnya, menurut penuturan sang pemilik
usaha, lele semaput adalah nama untuk lele yang di gunakan. Semaput dalam bahasa Jawa berarti
pingsan. Mengapa dinamakan demikian karena lele sebagai bahan utama makanan
yang di produksi sebelum di bersihkan dipukul terlebih dahulu di bagian
kepalanya hingga ikan lele benar-benar pingsan dan mati. Seperti yang
diketahui, ikan lele memiliki patil di sisi kanan kiri siripnya yang dapat
melukai tangan bila ikan lele tidak benar-benar pingsan atau mati. Itulah
menagapa ikan lele yang digunakan dinamakan lele semaput. Selain itu, menurut
para konsumen, sambal yang digunakan di lele semaput enak dan berbeda dari yang
lainnya. Ali menuturkan apabila sambal yang digunakan untuk lele dibuat mendadak
sebelum disajikan, bukan sambal yang siap makan. Menjaga ke segaran bahan-bahan
dalam makanan tentunya dapat mempengaruhi cita rasa makanan yang di buat, untuk
saat ini lele semaput hanya ada di kawasan pondok pesantren Mantenan, Udanawu,
Blitar. Penyajian lele semaput pun juga masih menggunakan cobek batu sebagai
wadah dari lele, maupun lauk lainnya yang dipenyet
bersama sambal. Sambal yang disediakan pun beragam mulai dari sambal tersi,
sambal tomat, ataupun sambal bawang, sesuai request
dari para pembeli. Menu yang disuguhkan tentunya tidak hanya lele semaput,
tetapi juga tersedia ayam goreng, tempe penyet, sate telur puyuh, ceker dan
kepala pedas, sate jeroan, semur sayap ayam, nasi kucing, gorengan, kopi, serta
berbagai macam minuman lainnya. Dapat dikatakan bahwa adanya warung lele yang
ia dirikan menjadi salah satu sebab warung-warung lainnya turut berdiri.
SISI
LAIN SANG PERANTAU
Menjadi seorang pendatang di Blitar, tentunya
bukan tanpa alasan dilakukannya. Sebenarnya Blitar juga merupakan tempat
tinggalnya. Kepindahannya ke Blitar dapat dikatakan sebagai kepulangan kembali
dirinya ke tanah nenek moyangnya, kakek dan neneknya berasal dari Blitar. Namun
selama ini, ia dan keluarganya justru tinggal lama di Lampung daerah tempat
tinggal istrinya.
Hari berganti, bulan demi bulan, tahun demi
tahun. Perjalanan panjang kehidupan yang dilaluinya mengukir banyak pengalaman.
Salah satunya sebab dirinya menjadi seorang wirausaha kini, ternyata juga
memiliki kisah sendiri. Kisah yang banyak disikapi dengan wajah heran setiap
orang yang mendengarnya. Pasalnya ia meninggalkan pekerjaan tetapnya di Lampung
ketika pindah ke Blitar, yakni sebagai Pegawai Negeri Sipil. Tentunya hal
tersebut membuat setiap orang yang mengetahui ceritanya sangat heran. Mengapa
ada seseorang yang rela meninggalkan pekerjaan yang jelas-jelas dapat menunjang
masa tuanya kelak. Pegawai Negeri Sipil juga adalah pekerjaan yang di
idam-idamkan oleh sebagian besar orang. Bahkan banyak orang yang mengorbankan
uang untuk membayar demi bisa menjadi PNS. Namun bagi Ali ada alasan tersendiri
mengapa ia melakukan hal yang diangap ‘gila’ bagi sebagian orang.
Sebagai perantau, tentunya perpindahan sudah
menjadi hal yang biasa dilakukan oleh dirinya. Dimulai ketika ia lulus PGA atau
Pendidikan Guru Agama (yang saat ini
sudah di generalisasi sebagai Sekolah Menengah Kejuruan), ia sudah bertekad
untuk keluar dari rumah dan merantau ke daerah lain, sebagai laki-laki tertua
yang ada di keluarga ia berpikir untuk tidak menyusahkan orang tuanya saat itu.
Selepas lulus dari sekolah ia melancong ke Ibukota Surabaya. Ia bertekad untuk
melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan bekerja secara
mandiri. Akhirnya ia menemukan pekerjaan pertamanya di daerah tempatnya
merantau yakni sebagai penjaga angkringan. Ia menjaga angkringan yang dimiliki
oleh seseorang. Hasil penjualanya akan dibagi dua oleh si pemilik. Hal tersebut
menjadi pengalaman pertama ia bekerja sebagai penjual makanan yang saat ini
menjadi mata pencahariannya. Hingga tanpa terasa uang yang di dapatkannya dari
berjualan tadi sudah mencukupi untuk daftar dan membayar uang kuliah. Hingga di
tahun-tahun berikutnya, ia berkuliah sambil bekerja. Sesuatu yang diimpikannya
ketika pertama kali meninggalkan rumah. Baginya dengan seperti itu, ia sedikit
mengurangi beban yang ditanggung oleh kedua orangtuanya.
Selanjutnya, selepas lulus dari kuliah ia
kembali melancong ke daerah Sumatra, tepatnya di Lampung mengikuti sang kakak
sepupu yang memang sudah berdomisili dan berkeluarga di sana. Di Lampung ia
membantu usaha yang dimiliki oleh kakaknya. Disana, ia juga menemukan jodohnya,
ibu dari anak-anaknya kini, pendamping hidupnya untuk di masa-masa senang
maupun sulit. Menikah pada Juli 1995 dan dikaruniai anak pertama pada tahun
1996. Kehidupan berumah tangga ia jalani dengan bekerja sebagai penjual sepatu
dan tas di pasar. Menurutnya, pekerjaan apapun yang bisa dikerjakannya akan ia
kerjakan. Beralih Tahun, di usia pernikahan yang masih tiga tahun ia dan istri
serta sang anak melancong kembali ke Yogyakarta. Disana ia bekerja di tempat
produksi barang-barang meubel seperti kursi, almari, meja dan lain sebagainya. Hanya
bertahan selama dua tahun di Jogja, akhirnya ia kembali lagi ke Lampung bersama
keluarga. Beberapa waktu setelah kembali ke Lampung ia mengikuti tes calon
Pegawai Negeri Sipil yang di adakan oleh Dinas Pendidikan, juga yang diadakan
oleh Departemen Agama. Dari keduanya, ia
dinyatakan lulus dan diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Departemen
Agama pada tahun 2004 dan ditetapkan menjadi seorang guru di salah satu
Madrasah Ibtidaiyah di daerah Jepara, Lampung Timur.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil memang menjadi
tujuan serta goal of life bagi
sebagian orang. Pandangan menjadi pegawai negeri dengan segala kemudahan yang
di dapat oleh para PNS memang menjadi sesuatu yang menggiurkan bagi kebanyakan
orang. Memiliki pekerjaan tetap yang di jamin oleh negara juga dirasa sangat
ideal bagi semua orang. Hari tua yang dijamin oleh negara, fasilitas kesehatan
yang memadai, tunjangan-tunjangan bagi keluarga dan di hari raya, serta gaji ke
tiga belas yang pasti didapatkan setiap tahunnya. Hal tersebut juga dirasakan
oleh Ali ketika ia masih menjadi Pegawai Negeri Sipil. Segala fasilitas yang ia
dapatkan karena menjadi salah satu pegawai negara pernah ia rasakan selama
kurang lebih sembilan tahun, hingga ia memilih keputusan besar yang benar-benar
mengubah kehidupannya di sembailan tahun belakangan. Ia memutuskan untuk
melepas status pegawai negeri yang ia sandang. Keputusan tersbut bukan tanpa alasan,
ia melakukan hal tersebut karena rasa idealis yang dimilikinya terlalu kuat
muncul. Dalam pekerjaannya sebagai pegawai negeri di instansi sekolah selain
sebagai guru ia juga ditunjuk sebagai staff dibagian keunangan. Melalui pekerjaan
tersebut banyak tuntutan dari atasan ketika ada pengawas yang datang ke sekolah
tempatnya bekerja, suruhan untuk memalsukan data-data yang ada pun di rasakan
olehnya. Atas kejadian yang sering dilaluinya tersebut, sedikit banyak ia sadar
bahwa memang hal ia lakukan sekalipun itu adalah suruhan dari atasnya adalah
kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan kelak. Waktu pun berlalu hingga
kepala sekolah yang ia percaya pensiun dan ia juga memutuskan untuk mutasi ke Blitar,
tempat asal orang tuanya dahulu. Kedua orang tuanya juga kebetulan adalah
seorang pegawai negeri. Pengurusan berkas-berkas kepindahan nya ternyata tidak
semudah yang di bayangkan. Bolak-balik Jakarta-Surabaya dilakukannya untuk mengurus surat kepindahan kerjanya, namun
ternyata hal tersebut terkesan dipersulit oleh pihak kepengurusan mutasi,
pungutan liar pun juga menadi makanan yang tidak terhindar dalam prosesnya. Hal
tersebut yang menjadi alasan mengapa ia memilih untuk melepas kepegawaian
negeri yang di milikinya. Ia sadar betul akan pekerjaannya memalsukan data yang
dilakukan dahulu. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukannya dulu adalah hal yang
batil sehingga ia tidk mendapat keberkahan atas apa yang ia kerjakan.
Menurutnya, tidak ada yang salah dalam setiap
pekerjaan, namun terkadang proses yang di lakukan dalam bekerja lah yang dapat
menyebabkan pekerjaan menjadi tidak memiliki keberkahan. Pekerjaan apapun itu
akan terasa lebih baik apabila kita melakukannya dengan kehati-hatian. Sering memang
dirasakan oleh setiap orang yang sudah bekerja dengan keras namun rasa-rasanya
apa yang dilakukan dan apa yang di dapatkan tidak seimbang. Hal itu mungkin
terjadi karena pekerjaan yang dilakukan tidak memiliki keberkahan. Terkadang memang
idealisme yang dimiliki seseorang membuat seseorag tersebut terlihat sedikit ‘gila’
bagi orang kebanyakan. Namun, dengan adanya ke’gila’an yang biasanya hanya
dimiliki oleh sebagian orang tadi juga sedikit banyak pasti berpengaruh bagi
kehidupan sosial yang dialami. Sama seperti yang di alami oleh Ali, banyak
tetangga yang heran dan tidak habis pikir dengan apa yang ia perbuat dan
lakukan. Bagaimana tidak, pekerjaan yang jelas-jelas dapat menunjang ia dan
keluarganya di hari tua ia tinggalkan.
Hal yang dialaminya tidak ia sesali sekarang,
tidak seperti dahulu ketika ia masih setengah yakin akan hal yang dilakukannya
tersebut. Buktinya, kini ia masih sanggup untuk menghidupi seorang istri dan
keempat anaknya yang masih menempuh pendidikan. Ia yakin bahwa rencana Tuhan
tidak akan pernah meleset, memiliki usaha yang juga sekaligus hobinya tidak
membuatnya putus asa sama sekali. Menjadi guru yang dilakukannya di sekolah
formal dulu, menurutnya bisa dilakukan ia lakukan ke siapa saja dan dimana saja
sekarang. Sungguh, semangat dalam melawan diri sendiri yang dimiliki olehnya merupakan
hal yang sekiranya dapat dicontoh bagi seseorang yang ragu akan diri mereka
sendiri. Usaha yang ia miliki juga terus berkembang dan ternyata menginspirasi para
konsumen atau pelanggan-pelanggannya dalam hal apaapun termasuk untuk
berwirausaha.
BalasHapusTulisan keren kak,Kami dealer motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek. Lihat lihat motor bisa klik disini