Selasa, 31 Oktober 2017

Ketika Idealisme Membuat Sang Perantau ‘Hijrah


Source: Dok Pribadi

Apakah yang ada di benak seseorang ketika mulai beranjak dewasa dengan meninggalkan kampung halaman yang dicintai? Apakah untuk mencari kehidupan yang lebih baik?  Untuk mencari pengalaman hidup? Atau adakah tujuan lainnya? Tujuan, maksud dan keinginan seseorang memang berbeda-beda dan tidak selalu sama. Perjalanan hidup menjadi dewasa merupakan hal yang pasti dilalui oleh setiap manusia yang ada di dunia. Perjalanannya sendiri juga pasti dilalui dengan berbagai macam cara. Baik dengan cara yang mudah maupun sulit. Perjalanan yang sulit dalam hidup tentunya akan dijumpai oleh setiap manusia. Akan seperti apa kehidupan seseorang selanjutnya, hasilnya tentu akan di dapat dari seberapa cerdas dan bersyukurnya manusia terhadap apa yang Tuhan beri kepada mahluk ciptaanya, yakni kita sebagai manusia yang juga sebagai mahluk paling sempurna yang pernah Allah ciptakan.
Hiruk pikuk aktivitas masyarakat setiap hari di jalan penghubung antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri di bulan November ini sangat terasa. Santri-santri berseragam yang berangkat dan pulang dari pondok pesantren, orang-orang yang datang dan pergi dari pasar entah berbelanja atau sekedar menjual sayuran hasil panen, anak-anak sekolah yang berangkat setiap pagi dan pulang di siang harinya, sudah menjadi keseharian serta rutinitas yang terus dilakukan bagi sebagian masyarakat di Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Di malam hari, udara dingin yang menyelimuti menjadi suasana yang tidak pernah didapat dari tempat lain, Sayup-sayup terdengar suara para santri mengaji. Sholawat pun tidak jarang terdengar, suara riuh kendaraan yang lewat di sepanjang jalan seolah menjadi pelengkap malam bagi para pedagang kaki lima yang ada di sekitar. Gelak tawa para pengunjung kios-kios dan warung serta kedai-kedai pun turut melengkapi perjalanan sang malam.
Udanawu, Kabupaten Blitar, daerah tempat tinggalnya saat ini memang tidak sepi seperti pertama kali ia membuka usaha lima tahun lalu. Berbagai macam kedai, kios dan warung makanan yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman mulai bermunculan saat ini. Mulai dari minuman ringan hingga makanan berat, mulai dari kios-kios franchise atau kios-kios waralaba yang berderet di kanan kiri jalan, kedai-kedai kopi, warung-warung pedagang kaki lima, hingga mini market banyak berdiri di sepanjang sisi jalan. Setelah ia memulai usaha pada tahun 2012 lalu, banyak yang mulai tertarik untuk membangun usaha disana karena mengetahui respon dari konsumen yang ada tidak terlalu buruk. Beberapa orang tertarik untuk turut memiliki bisnis di sana, terutama usaha di bidang kuliner. Namun ternyata, para calon  pengusaha-pengusaha kuliner yang baru berdiri disana beberapa diantaranya justru adalah anak muda yang sering nongkrong di angkringan dan warung makan milik salah satu seorang perantau asal Banyuwangi, Moh. Ali Syaifulloh atau yang biasa dipanggil Ali.
ANGKRINGAN KPK DAN LELE SEMAPUT
Ali, begitu ia disapa sehari-hari oleh para kerabatnya, dikenal sebagai pedagang yang ramah dan mudah berbaur dengan siapa saja, ia adalah pemilik Angkringan KPK dan Warung makan Lele Semaput yang beralamatkan di Jalan Lintas antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri, tepatnya di depan pintu gerbang pondok pesantren yang dikenal sebagai pondok Mantenan. Pria kelahiran tahun Mei 1969 ini adalah seorang perantau yang lahir dan tumbuh besar di Banyuwangi, yang juga berasal dari Banyuwangi. Ia baru pindah ke Udanawu, Blitar tempatnya ia tinggal kini pada bulan Febuari 2012 dan memulai usaha yang saat ini dijalaninya pada Oktober 2012. Usaha yang digelutinya kini pada awal berdiri tentunya sangat berbeda dengan yang ada saat ini. Dari segi suasana maupun tempat yang digunakan untuk berjualan berbeda dari lima tahun yang lalu, saat ia pertama kali membabat lahan untuk memulai usaha di bidang kuliner yang saat ini menjadi sumber rezeki bagi keluarganya.  Tentu, sangat sangat berbeda.
Usaha yang didirikannya pada masa-masa awal mendirikan dulu, konsep yang dimilikinya adalah untuk membuat angkringan seperti di Jogja, mengingat ia penah menjalani hidup selama dua tahun di Jogja, namun konsep angkringan yang sama seperti dimiliki di Joja apabila di terapkan di Udanawu, dirasa belum cukup dan pas. Perbedaan kebiasaan masyarakat sekitar serta perbedaan golongan masyarakat dirasa kurang tepat jika disandingkan dengan model angkringan yang murni sama seperti pada aslinya. Masyarakat Udanawu sebagian besar adalah para petani yang tidak mengetahui apa itu angkringan karena memang konsep angkringan berasal dari Jawa Tengah. Mengetahui kurang cocok dengan konsep yang seperti itu, ia tidak kehabisan akal, di tahun selanjutnya ia menambah menu yang ada dan berpindah lokasi ke tempat yang sedikit lebih luas dari tempat sebelumnya dan tempat tersebut masih ditempati hingga saat ini. Menu baru yang di usung adalah pecel lele yang diberi nama lele semaput. Karenanya, angkringan yang dimilikinya juga di beri nama lele semaput.
Keberadaan lele semaput sebagai menu baru ternyata di sambut baik oleh para konsumen. Mengingat warung makan Lele Semaput merupakan warung pecel lele pertama di sekitar kawasan Udanawu Blitar. Lele semaput menjadi favorit bagi sebagian pembeli, kebanyakan pembeli mengatakan apabila mereka penasaran dengan apa yang disebut dengan lele semaput.  Sebenarnya, menurut penuturan sang pemilik usaha, lele semaput adalah nama untuk lele yang di gunakan. Semaput dalam bahasa Jawa berarti pingsan. Mengapa dinamakan demikian karena lele sebagai bahan utama makanan yang di produksi sebelum di bersihkan dipukul terlebih dahulu di bagian kepalanya hingga ikan lele benar-benar pingsan dan mati. Seperti yang diketahui, ikan lele memiliki patil di sisi kanan kiri siripnya yang dapat melukai tangan bila ikan lele tidak benar-benar pingsan atau mati. Itulah menagapa ikan lele yang digunakan dinamakan lele semaput. Selain itu, menurut para konsumen, sambal yang digunakan di lele semaput enak dan berbeda dari yang lainnya. Ali menuturkan apabila sambal yang digunakan untuk lele dibuat mendadak sebelum disajikan, bukan sambal yang siap makan. Menjaga ke segaran bahan-bahan dalam makanan tentunya dapat mempengaruhi cita rasa makanan yang di buat, untuk saat ini lele semaput hanya ada di kawasan pondok pesantren Mantenan, Udanawu, Blitar. Penyajian lele semaput pun juga masih menggunakan cobek batu sebagai wadah dari lele, maupun lauk lainnya yang dipenyet bersama sambal. Sambal yang disediakan pun beragam mulai dari sambal tersi, sambal tomat, ataupun sambal bawang, sesuai request dari para pembeli. Menu yang disuguhkan tentunya tidak hanya lele semaput, tetapi juga tersedia ayam goreng, tempe penyet, sate telur puyuh, ceker dan kepala pedas, sate jeroan, semur sayap ayam, nasi kucing, gorengan, kopi, serta berbagai macam minuman lainnya. Dapat dikatakan bahwa adanya warung lele yang ia dirikan menjadi salah satu sebab warung-warung lainnya turut berdiri.
SISI LAIN SANG PERANTAU
Menjadi seorang pendatang di Blitar, tentunya bukan tanpa alasan dilakukannya. Sebenarnya Blitar juga merupakan tempat tinggalnya. Kepindahannya ke Blitar dapat dikatakan sebagai kepulangan kembali dirinya ke tanah nenek moyangnya, kakek dan neneknya berasal dari Blitar. Namun selama ini, ia dan keluarganya justru tinggal lama di Lampung daerah tempat tinggal istrinya.
Hari berganti, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Perjalanan panjang kehidupan yang dilaluinya mengukir banyak pengalaman. Salah satunya sebab dirinya menjadi seorang wirausaha kini, ternyata juga memiliki kisah sendiri. Kisah yang banyak disikapi dengan wajah heran setiap orang yang mendengarnya. Pasalnya ia meninggalkan pekerjaan tetapnya di Lampung ketika pindah ke Blitar, yakni sebagai Pegawai Negeri Sipil. Tentunya hal tersebut membuat setiap orang yang mengetahui ceritanya sangat heran. Mengapa ada seseorang yang rela meninggalkan pekerjaan yang jelas-jelas dapat menunjang masa tuanya kelak. Pegawai Negeri Sipil juga adalah pekerjaan yang di idam-idamkan oleh sebagian besar orang. Bahkan banyak orang yang mengorbankan uang untuk membayar demi bisa menjadi PNS. Namun bagi Ali ada alasan tersendiri mengapa ia melakukan hal yang diangap ‘gila’ bagi sebagian orang.
Sebagai perantau, tentunya perpindahan sudah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh dirinya. Dimulai ketika ia lulus PGA atau Pendidikan Guru Agama (yang saat  ini sudah di generalisasi sebagai Sekolah Menengah Kejuruan), ia sudah bertekad untuk keluar dari rumah dan merantau ke daerah lain, sebagai laki-laki tertua yang ada di keluarga ia berpikir untuk tidak menyusahkan orang tuanya saat itu. Selepas lulus dari sekolah ia melancong ke Ibukota Surabaya. Ia bertekad untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan bekerja secara mandiri. Akhirnya ia menemukan pekerjaan pertamanya di daerah tempatnya merantau yakni sebagai penjaga angkringan. Ia menjaga angkringan yang dimiliki oleh seseorang. Hasil penjualanya akan dibagi dua oleh si pemilik. Hal tersebut menjadi pengalaman pertama ia bekerja sebagai penjual makanan yang saat ini menjadi mata pencahariannya. Hingga tanpa terasa uang yang di dapatkannya dari berjualan tadi sudah mencukupi untuk daftar dan membayar uang kuliah. Hingga di tahun-tahun berikutnya, ia berkuliah sambil bekerja. Sesuatu yang diimpikannya ketika pertama kali meninggalkan rumah. Baginya dengan seperti itu, ia sedikit mengurangi beban yang ditanggung oleh kedua orangtuanya.
Selanjutnya, selepas lulus dari kuliah ia kembali melancong ke daerah Sumatra, tepatnya di Lampung mengikuti sang kakak sepupu yang memang sudah berdomisili dan berkeluarga di sana. Di Lampung ia membantu usaha yang dimiliki oleh kakaknya. Disana, ia juga menemukan jodohnya, ibu dari anak-anaknya kini, pendamping hidupnya untuk di masa-masa senang maupun sulit. Menikah pada Juli 1995 dan dikaruniai anak pertama pada tahun 1996. Kehidupan berumah tangga ia jalani dengan bekerja sebagai penjual sepatu dan tas di pasar. Menurutnya, pekerjaan apapun yang bisa dikerjakannya akan ia kerjakan. Beralih Tahun, di usia pernikahan yang masih tiga tahun ia dan istri serta sang anak melancong kembali ke Yogyakarta. Disana ia bekerja di tempat produksi barang-barang meubel seperti kursi, almari, meja dan lain sebagainya. Hanya bertahan selama dua tahun di Jogja, akhirnya ia kembali lagi ke Lampung bersama keluarga. Beberapa waktu setelah kembali ke Lampung ia mengikuti tes calon Pegawai Negeri Sipil yang di adakan oleh Dinas Pendidikan, juga yang diadakan oleh  Departemen Agama. Dari keduanya, ia dinyatakan lulus dan diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Departemen Agama pada tahun 2004 dan ditetapkan menjadi seorang guru di salah satu Madrasah Ibtidaiyah di daerah Jepara, Lampung Timur.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil memang menjadi tujuan serta goal of life bagi sebagian orang. Pandangan menjadi pegawai negeri dengan segala kemudahan yang di dapat oleh para PNS memang menjadi sesuatu yang menggiurkan bagi kebanyakan orang. Memiliki pekerjaan tetap yang di jamin oleh negara juga dirasa sangat ideal bagi semua orang. Hari tua yang dijamin oleh negara, fasilitas kesehatan yang memadai, tunjangan-tunjangan bagi keluarga dan di hari raya, serta gaji ke tiga belas yang pasti didapatkan setiap tahunnya. Hal tersebut juga dirasakan oleh Ali ketika ia masih menjadi Pegawai Negeri Sipil. Segala fasilitas yang ia dapatkan karena menjadi salah satu pegawai negara pernah ia rasakan selama kurang lebih sembilan tahun, hingga ia memilih keputusan besar yang benar-benar mengubah kehidupannya di sembailan tahun belakangan. Ia memutuskan untuk melepas status pegawai negeri yang ia sandang. Keputusan tersbut bukan tanpa alasan, ia melakukan hal tersebut karena rasa idealis yang dimilikinya terlalu kuat muncul. Dalam pekerjaannya sebagai pegawai negeri di instansi sekolah selain sebagai guru ia juga ditunjuk sebagai staff dibagian keunangan. Melalui pekerjaan tersebut banyak tuntutan dari atasan ketika ada pengawas yang datang ke sekolah tempatnya bekerja, suruhan untuk memalsukan data-data yang ada pun di rasakan olehnya. Atas kejadian yang sering dilaluinya tersebut, sedikit banyak ia sadar bahwa memang hal ia lakukan sekalipun itu adalah suruhan dari atasnya adalah kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan kelak. Waktu pun berlalu hingga kepala sekolah yang ia percaya pensiun dan ia juga memutuskan untuk mutasi ke Blitar, tempat asal orang tuanya dahulu. Kedua orang tuanya juga kebetulan adalah seorang pegawai negeri. Pengurusan berkas-berkas kepindahan nya ternyata tidak semudah yang di bayangkan. Bolak-balik  Jakarta-Surabaya dilakukannya untuk mengurus surat kepindahan kerjanya, namun ternyata hal tersebut terkesan dipersulit oleh pihak kepengurusan mutasi, pungutan liar pun juga menadi makanan yang tidak terhindar dalam prosesnya. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa ia memilih untuk melepas kepegawaian negeri yang di milikinya. Ia sadar betul akan pekerjaannya memalsukan data yang dilakukan dahulu. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukannya dulu adalah hal yang batil sehingga ia tidk mendapat keberkahan atas apa yang ia kerjakan.
Menurutnya, tidak ada yang salah dalam setiap pekerjaan, namun terkadang proses yang di lakukan dalam bekerja lah yang dapat menyebabkan pekerjaan menjadi tidak memiliki keberkahan. Pekerjaan apapun itu akan terasa lebih baik apabila kita melakukannya dengan kehati-hatian. Sering memang dirasakan oleh setiap orang yang sudah bekerja dengan keras namun rasa-rasanya apa yang dilakukan dan apa yang di dapatkan tidak seimbang. Hal itu mungkin terjadi karena pekerjaan yang dilakukan tidak memiliki keberkahan. Terkadang memang idealisme yang dimiliki seseorang membuat seseorag tersebut terlihat sedikit ‘gila’ bagi orang kebanyakan. Namun, dengan adanya ke’gila’an yang biasanya hanya dimiliki oleh sebagian orang tadi juga sedikit banyak pasti berpengaruh bagi kehidupan sosial yang dialami. Sama seperti yang di alami oleh Ali, banyak tetangga yang heran dan tidak habis pikir dengan apa yang ia perbuat dan lakukan. Bagaimana tidak, pekerjaan yang jelas-jelas dapat menunjang ia dan keluarganya di hari tua ia tinggalkan.
Hal yang dialaminya tidak ia sesali sekarang, tidak seperti dahulu ketika ia masih setengah yakin akan hal yang dilakukannya tersebut. Buktinya, kini ia masih sanggup untuk menghidupi seorang istri dan keempat anaknya yang masih menempuh pendidikan. Ia yakin bahwa rencana Tuhan tidak akan pernah meleset, memiliki usaha yang juga sekaligus hobinya tidak membuatnya putus asa sama sekali. Menjadi guru yang dilakukannya di sekolah formal dulu, menurutnya bisa dilakukan ia lakukan ke siapa saja dan dimana saja sekarang. Sungguh, semangat dalam melawan diri sendiri yang dimiliki olehnya merupakan hal yang sekiranya dapat dicontoh bagi seseorang yang ragu akan diri mereka sendiri. Usaha yang ia miliki juga terus berkembang dan ternyata menginspirasi para konsumen atau pelanggan-pelanggannya dalam hal apaapun termasuk untuk berwirausaha.


1 komentar: